Liputan6.com, Jakarta - Sebagian besar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama tenaga kerja informal tidak mendapatkan perlindungan hukum di Taiwan. Hal ini disebabkan adanya permasalahan dengan kontrak kerja yang tidak jelas mengatur hubungan tenaga kerja informal.
Menurut Program Manager Union Migrant Indonesia (UNIMIG), Yusherina Gusman, ada tercatat 871 kasus hingga Februari 2013 yang melibatkan TKI. Kasus itu terdiri dari pembunuhan, penculikan, dan pemerkosaan. Akan tetapi, kasus paling sering terjadi merupakan perselisihan di antara buruh migran.
Baca Juga
16 Februari 1998: Petaka Pesawat China Airlines Jatuh Timpa Rumah Warga dekat Bandara Taiwan, 205 Orang Tewas
Ledakan Gas di Pusat Perbelanjaan Taiwan, 4 Orang Tewas 8 Lainnya Terluka
Indonesia Jadi Negara Asia Pertama yang Menayangkan Film You Are The Apple of My Eye, Barengan dengan di Korea Selatan
"Yang paling sering adalah sesama buruh migran. Kemarin ada TKI bermasalah dengan buruh migran Thailand karena perebutan wanita," tutur Yusherina, dalam acara Seminar Perlindungan Hukum TKI yang Berkonflik dengan Hukum di 5 Negara, Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Advertisement
Berdasarkan data UNIMIG, organisasi fokus pada perlindungan TKI mengungkapkan, tenaga kerja asal Indonesia banyak ditempatkan di Taiwan dibanding dengan negara ASEAN lain.
Total tenaga kerja ASEAN yang bekerja di Taiwan sebanyak 492.444 jiwa. Dari jumlah itu sebanyak 216.151 merupakan pekerja asal Indonesia.
"Pekerja dari ASEAN sebanyak 492.444 pada Februari 2014. Untuk Indonesia, pekerja informal sebanyak 160.104 meliputi pekerja rumah tangga, pengurus anak dan lain-lain. Sebanyak 56.047 merupakan pekerja formal seperti buruh pabrik,"Â kata Yusherina.
Sekitar 26% tenaga kerja formal memiliki perlindungan hukum jelas meliputi Labour Standar Act dan The Labour Safety and Health Act. Sedangkan sisanya sebanyak 76% pegawai informal itu tidak mendapatkan kedua perlindungan hukum itu.
Oleh karena itu, pihaknya menilai perlu pembekalan pengetahuan hukum di negara penempatan untuk para TKI. Selain itu, para TKI diberikan informasi mengenai pendampingan hukum dan mendapatkan pengacara selama konflik berlangsung. Ia menambahkan, TKI juga perlu pendidikan mengenai hak diam dan hak bicara sebagai proses dari hukum.
"TKI diedukasi mengenai hak diam dan hak bicara sebagai bagian dari proses hukum. Cerita saja dengan keadaan panik TKI bisa bicara jujur. Tapi kalau dengan pengacara beda lagi," ujar Yusherina.