Sukses

Kenaikan UMP 30% Dinilai Tak Rasional

Pengusaha menilai tuntutan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) mencapai 30% tidak rasional karena tidak memiliki dasar kuat.

Liputan6.com, Jakarta - Massa buruh menggelar aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau biasa disebut May Day pada Kamis pekan ini. Salah satu hal yang dituntut dalam aksinya tersebut yaitu kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 30%.

Namun, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengatakan, tuntutan tersebut tidak rasional. Selain itu, besaran kenaikan UMP juga dinilai tidak memiliki dasar yang jelas.

"Sangat tidak rasional, dan itu sudah ada aturannya. Itu yang kami lihat, supaya buruh ini tahu bahwa menetapkan UMP itu ada aturannya," ujar Sarman saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (1/5/2014).
 
Dia menjelaskan, dalam penentuan besaran UMP, telah ada tata cara yang dibuat oleh pemerintah, seperti harus berdasarkan pada survei komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan setiap bulan, mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, mempertimbangkan tingkat produktifitas pekerja serta memperhatikan kemampuan perusahaan dalam menyerap tenaga kerja.

"Itu dasar untuk menetapkan UMP, tidak bisa seenaknya minta kenaikan 30%," lanjutnya.

Selain itu, Sarman juga menilai tuntutan buruh agar pemerintah menambah jumlah KHL dari 60 item menjadi 84 item juga tidak memiliki dasar yang kuat, karena item yang ditambahkan dianggap belum terlalu mendesak seperti anggaran pulsa dan kosmetik.

"Mereka juga minta kenaikan KHL dari 60 item ke 84 item, itu dasarnya dari mana. Karena harus berdasarkan kebijakan dari pemerintah pusat," kata Sarman.

Sarman juga mengingatkan buruh agar lebih rasional dalam melakukan tuntutan serta juga harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dimana buruh tersebut bekerja.

"Itu harus bijak, karena berkaitan dengan kemampuan perusahaan. Mau gaji berapa pun tidak masalah selama perusahaan itu mampu," tandasnya.