Sukses

Jadi Korban Penipuan, Dua Nasabah Gold Bullion Meninggal

Kerugian materi hingga triliunan rupiah bukan satu-satunya penderitaan yang harus ditanggung para nasabah korban penipuan Gold Bullion

Liputan6.com, Jakarta - Kerugian materi hingga triliunan rupiah bukan satu-satunya penderitaan yang harus ditanggung para nasabah korban penipuan perusahaan investasi emas PT Gold Bullion Indonesia (GBI). Sejak terkuak pada Maret tahun lalu, kasus penipuan investasi Gold Bullion ternyata telah menelan dua nyawa nasabahnya.

Salah satu anggota Forum Perjuangan Nasabah Gold Bullion, Taufik mengaku telah menerima banyak kabar mengenai korban meninggal akibat tak sanggup menahan kerugian setelah berinvestasi di GBI. Maklum, setiap nasabah rata-rata membenamkan modal ratusan juta rupiah.

"Kasihan saya, sudah kerugian materi, katanya banyak yang meninggal karena stroke. Cuma yang saya ketahui kebenarannya baru ada dua orang, salah satunya aktivis yang memperjuangkan nasib nasabah di forum kami," ungkap Taufik saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (3/5/2014).

Salah satu nasabah bernama Surya dikabarkan meninggal setelah terkena serangan jantung karena kelelahan mengurus berkas untuk pengaduan kasus tersebut. Kala itu, rekan-rekan Surya mengaku tidak mengetahui pria berusia sekitar 60 tahunan tersebut menderita penyakit jantung.

"Pak Surya ini meninggal saat sedang mengumpulkan data. Ketika singgah di salah satu rumah nasabah, dia collapse dan ternyata meninggal. Kalau saja kami tahu beliau menderita penyakin jantung tentu tak akan kami libatkan dalam perjuangan ini," sesal Taufik.

Sementara satu korban lainnya merupakan nasabah GBI yang berasal dari daerah. Korban tersebut bukanlah aktivis seperti Surya.

"Yang satu lagi murni nasabah. Karena kasus ini, dia jadi banyak utang. Dia kan menggunakan fasilitas pendanaan dari bank berbentuk pinjaman untuk berinvestasi di GBI. Nah ketika ternyata ditipu, dia tetap harus membayar utang tapi tak sanggup sehingga banyak barangnya yang disita," papar Taufik.

Dia lantas mengungkapkan, seluruh utang yang harus ditanggung nasabah tersebut membuat penyakit jantungnya semakin parah. Bahkan tak hanya jantung, sang korban juga terkena stroke karena tak tahan dengan masalah keuangan yang menghantamnya setelah menjadi korban penipuan GBI.

Meski kasus penipuan investasi emas itu telah mengorbankan dua nyawa, tetapi para nasabah tak ingin GBI bangkrut. Itu karena para nasabah masih berharap GBI dapat mengembalikan seluruh uang yang pernah dibenamkannya di perusahaan tersebut.

"Sekarang kan GBI belum pailit. Nasabah juga tidak mau GBI pailit, tapi setidaknya para petinggi GBI keluar dari persembunyian dan membicarakan semua masalah baik-baik," ujar Taufik.

Dia menuntut pemerintah untuk menegakkan hukum yang berlaku, jika GBI tetap bersembuny dan tidak membayarkan seluruh utangnya pada nasabah.

"Kalau GBI tak sanggup bayar atau hanya sanggup bayar sebagian ya jelaskan, jangan sembunyi. Bagaimanapun urusannya, kalau uang tidak kembali, ya hukumnya ditegakkan. Jangan sampai kami sudah rugi materi, tapi para pelakunya tidak dihukum," tegas dia.

Meski berharap GBI tidak pailit dan mengembalikan seluruh uang nasabah, Taufik bersama korban penipuan lainnya mengaku trauma dan tidak akan pernah lagi membenamkan uangnya di perusahaan besutan warga Malaysia tersebut.

Sekadar informasi, kasus penipuan investasi nasabah GBI telah bergulir sejak Maret tahun lalu. Setelah sempat melakukan sidang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada awal April dan mengikuti sidang di Komisi XI pada Semtember tahun lalu, utang para nasabah tak juga dilunasi pihak GBI.

Padahal, GBI dan para nasabah sempat menempuh jalan damai di Pengadilan Niaga setelah perusahaan berjanji akan membayarkan utang-utangnya pada nasabah dengan menunjukkan salinan cek sebesar Rp 500 miliar di persidangan. Namun sayang, setelah jalan damai disepakati, GBI tak kunjung membayar utang-utangnya pada para nasabah hingga saat ini.

Hari ini, sebanyak 10 nasabah mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan kasusnya dengan jumlah penipuan sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1,2 miliar. Meski disarankan untuk membuat laporan secara kolektif, tapi para nasabah menolak dan memilih melakukannya satu per satu.

 

Video Terkini