Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung rencana gugatan kenaikan listrik ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan dilayangkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Sebab pihaknya menilai pemerintah seharusnya membebani seluruh pelanggan listrik dengan penyesuaian tarif tersebut.
Wakil Ketua Bidang Perdagangan Internasional Kadin, Chris Kanter usai Diskusi Penguatan Kerja sama antara Uni Eropa dan Indonesia mengaku setuju dengan pemangkasan subsidi listrik.
"Bahwa subsidi listrik harus dipotong, kami setuju karena kami yang lebih dulu teriak (kenaikan tarif listrik golongan industri). Tapi penyesuaian harusnya dibagi merata ke seluruh pelanggan," tegasnya di Jakarta, Selasa (6/5/2014).
Jika pemerintah dan DPR memukul rata kenaikan ke seluruh pelanggan baik golongan rumah tangga sampai industri, Chris menyebut, penyesuaian tarif listrik hanya akan sebesar 5%.
"Kenaikan listrik itu tidak akan memberatkan rakyat kecil karena nggak sampai Rp 50 ribu per bulan, sangat terjangkau. Pelanggan kecil mampu kok karena pengeluaran listrik ada di urutan keempat, sedangkan biaya pulsa selalu paling besar," keluh dia.
Namun kenyataannya, dia mengaku, kenaikan tarif listrik hanya berlaku bagi golongan I3 dan I4 dengan jumlah pelanggan segelintir perusahaan. Imbasnya besaran penyesuaian tarif terlampau besar hingga 60%.
"Nggak apa sih kalau cuma mau bikin untung orang-orang atau perusahaan ini kurang atau hidup lebih susah, tapi masalahnya mereka nggak bisa menambah produksi, kapasitas produksi sehingga akibatnya bakal terjadi pengurangan tenaga kerja," tegas dia.
Selain itu, Chris mengatakan, kenaikan tarif listrik 5% akan mengurangi ketidakpastian investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan tak beralih ke negara lain yang lebih memberikan keuntungan.
"Kalau naiknya 5% jadi sinyal bagus ke investor, sebab investor biasanya akan gamang takut kalau kenaikan tarif listrik ke depan mencapai 100%. Akhirnya mereka pilih solusi yang lebih mudah ke Vietnam dan Thailand," ucapnya.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur, Chris mengaku tak bisa berbuat apa-apa karena kebijakan tersebut sudah diketuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014.
"Sekarang sih nggak bisa diapa-apakan lagi. Mudah-mudahan nanti di pemerintahan baru," tandas dia. (Fik/Nrm)