Sukses

BBM Jadi Kunci Penyesuaian Suku Bunga Acuan

Menurut Menteri BUMN, Dahlan Iskan, salah satu cara untuk menurunkan suku bunga dengan kembali menata persoalan energi.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dan Bank Indonesia terus berjuang untuk meratakan akses perbankan atau financial inclusion ke seluruh wilayah Indonesia. Namun program tersebut masih kurang maksimal karena saat ini bunga bank masih tinggi.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan dalam Launching Mandiri Institute, mengatakan, tingkat bunga rendah menjadi salah satu fundamental untuk menerapkan financial inclusion secara nyata.

"Bagaimana mau financial inclusion kalau bunga masih tinggi? Siapa yang mau terlibat lebih banyak karena bunga rendah bukan sekadar teori ekonomi tapi juga ideologi," terang dia di Jakarta, Senin (12/5/2014).

Meski begitu, Dahlan menyadari gejolak perekonomian Indonesia saat ini memaksa BI menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) dan diikuti penyesuaian bunga perbankan.

"Saya setuju sekali financial inclusion dengan cara bunga rendah, Kredit Usaha Rakyat, atau lewat ponsel untuk memperluas financial inclusion. Tapi bagaimana menurunkan lagi suku bunga naik? Solusinya menata kembali persoalan energi," tutur Dahlan.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI Agus Martowardojo mengungkapkan, tingkat bunga rendah membuat Indonesia lebih kompetitif. Namun pihaknya mempunyai alasan tingkat bunga bank saat ini masih tinggi meski tak ada satupun pihak yang menginginkan kondisi tersebut.

"Yang buat tingkat bunga tinggi adalah tingkat inflasi. Dibanding 10 tahun lalu, pengendalian inflasi Indonesia sudah cukup baik sekitar 6%. Bahkan di 2011-2012 inflasi kita pernah 3,8% dan 4,3% atau di bawah 5%," sebut dia.

Selama ini, kata Agus, yang memberi tekanan pada inflasi adalah pengelolaan energi. Inflasi akibat kenaikan harga BBM subsidi selalu berada di level tertinggi, seperti pada 2005, inflasi tembus 17% dan 11% di 2008.

"Setiap kali setelah kenaikan harga BBM subsidi, inflasi selalu tinggi. Tapi harus dilakukan karena fiskal kita tertekan akibat subsidi BBM yang besar," ujar Agus.

Dia menilai, penyesuaian BBM bersubsidi pada tahun lalu sangat terlambat. Padahal pembahasan telah dijalankan pada jauh-jauh hari namun baru bisa terealisasi pada Juni 2013.

"Walaupun harga BBM naik di 2013, tapi pemerintah dan BI bisa mengendalikan inflasi sehingga bisa single digit. Saat ini pengendalian terus sudah di jalur normal dan kami yakin inflasi tahun ini bisa 4,5 plus minus satu persen," tutur Agus.

Dia mengaku, penyesuaian harga BBM subsidi berdampak positif bagi fiskal Indonesia. Sedangkan untuk dampaknya terhadap masyarakat miskin, pemerintah akan melakukan berbagai upaya.

"Dengan kenaikan harga, Indonesia bukan berarti nggak mikirin kaum miskin. Toh yang nikmatin BBM bersubsidi bukan kaum miskin, tapi yang kaya," tutup Agus. (Fik/Ahm)

Video Terkini