Liputan6.com, Jakarta - Dalam memacu ekspansi bisnis, setiap perusahaan membutuhkan biaya cukup besar. Modal ini biasanya dicari dari pinjaman atau utang perbankan, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing (valas).
Sayangnya, masih banyak perusahaan swasta belum mampu mengendalikan utang luar negeri (ULN) dengan sebuah sistem manajemen risiko.
Baca Juga
Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo mengaku terus menyoroti perkembangan ULN di setiap perusahaan skala besar, termasuk Pertamina yang mengantongi pendapatan dalam bentuk rupiah, namun kerap berutang berdenominasi valas.
Advertisement
"Kami diskusi dengan Pertamina membahas Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) yang sudah ada sejak 1991," ujar Agus usai rapat di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin (12/5/2014) malam.
Dalam koordinasi ini, sambung dia, BI dan pemerintah harus memperbaiki sistem PKLN agar seluruh proses dan SOP jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. "Negara-negara di dunia perlu memperhatikan utang luar negeri, terutama utang korporasi. Dan Pertamina adalah salah satu perusahaan besar yang mesti kita lihat (utangnya)," tambah Agus.
Dia mengaku, setiap perusahaan harus memikirkan pengendalian dan pengelolaan risiko berutang supaya lebih baik. "Pengelolaan risiko yang paling utama adalah maturity profile dari pada meminjam," jelasnya.
Selain itu, kata Deputi Gubernur BI Hendar, salah satu pengelolaan risiko yang terbaik adalah lindung nilai (hedging). "Jadi currency mitch match bisa dicegah dan terus koordinasi supaya hedging bisa berjalan efektif," tutur Hendar.
Dia mengaku, banyak perusahaan raksasa yang enggan atau belum melakukan hedging terhadap tumpukan utang luar negerinya. "Persentase nya bisa lebih dari 20% (belum hedging)," terang Agus.
Seperti diberitakan sebelumnya, BI mencatat realisasi utang luar negeri per akhir Maret ini meningkat 12,2% menjadi US$ 146 miliar. "Kami tetap akan mewaspadai pergerakan dari permintaan domestik yang dicerminkan angka transaksi berjalan," jelas Agus. (Fik/Ahm)