Liputan6.com, New York - Seseorang menjadi miliarder ditentukan sejumlah faktor mulai dari pendidikan, kepintaran, keluarga dan sebagainya. Berdasarkan studi terbaru pendidikan dan kemampuan kognitif tinggi memiliki peran seseorang menjadi miliarder.
Ekonom Paul Krugman, baru-baru ini menulis kalau hedge fund manager memiliki gaji tinggi hingga miliaran dolar sebagai bukti kalau pendidikan memainkan peran kecil dalam kesenjangan kekayaan semakin tumbuh.
Baca Juga
Menurut dia, orang kaya menjadi kaya karena "runway financial system" dan investasi mengembangkan uang. "Ketidak setaraan modern bukan tentang lulusan. Ini tentang oligarki," tulis Krugman, seperti dikutip dari CNBC, yang ditulis Minggu (18/05/2014).
Advertisement
Namun berdasarkan studi terbaru menawarkan pandangan berbeda. Jonathan Wai, Research Scientist Duke University dan School's Talent Identification Program, menemukan kalau miliarder sebagai sebuah kelompok sangat berpendidikan dan memiliki kemampuan kognitif tinggi.
Sekitar sepertiga dari miliarder dunia bersekolah di sekolah elit di seluruh dunia. Bahkan di antara miliarder dengan kekayaan lebih tinggi mungkin untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi top.
"Rata-rata kekayaan bersih mereka yang bersekolah di sekolah elit secara signifikan lebih tinggi dari pada mereka yang tidak," tulis laporan itu.
Wai menemukan, kalau para peserta forum ekonomi dunia tahunan berkumpul di Davos, Swiss juga berpendidikan tinggi. Lebih dari dari setengah peserta di Davos menuntut ilmu di perguruan tinggi elit.
Selain itu, sejumlah miliarder juga mengambil jurusan terutama teknologi informasi, teknik dan matematika. Hal ini juga dikenalkan dengan bidang STEM.
Berdasarkan penelitian itu juga menyebutkan kalau universitas Harvard menjadi salah satu perguruan tinggi yang banyak mencetak miliarder. Di antara miliarder Amerika Serikat (AS), lebih dari 1 antara 10 miliarder di AS belajar di Universitas Harvard. Lalu secara global, sekitar 1 dari 20 miliarder kuliah di universitas Harvard.
Memang penelitian ini membuat beberapa asumsi yang bisa ditentang. Dalam penelitian itu tidak memiliki statistik IQ pada miliarder. Sebaliknya ia menyamakan kemampuan kognitif dengan kehadiran universitas terkemuka.
Anak orang kaya juga bisa masuk ke universitas ternama karena sebagian orang tuanya menghadiri dan memberi hadiah besar untuk sekolah.
Wai mengakui, kalau beberapa siswa yang mendapatkan nilai rendah masuk sekolah elite karena memiliki prestasi atletik, status warisan dan koneksi politik. Ia menambahkan, siswa yang memiliki nilai tinggi bahkan tidak masuk universitas elit tersebut.
Dalam laporan itu menyebutkan, para miliarder yang mewarisi kekayaan dari orang tuanya juga lebih mungkin masuk ke lembaga dan sekolah elit ketimbang diperoleh melalui kemampuan otak.
Sedangkan pendidikan tidak berkorelasi dengan miliarder di China dan Rusia. Orang lebih menjadi kaya di China dan Rusia karena tergantung pada koneksi politik daripada derajat.
Secara keseluruhan, Wai menyimpulkan kalau kesenjangan kekayaan sejalan dengan kesenjangan pendidikan. Menurut Wai, di dunia super kaya juga begitu menakutkan.
"Saya pikir kita harus sangat mempertimbangkan implikasi ketika kelompok memilih orang pintar menakutkan juga cenderung memegang bagian tidak proporsional dari kekayaan global dan kekuasaan. Kita bergantung pada orang-orang yang membuat keputusan bijaksana bagi semua," tutur Wai. (Ahm/)