Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) menargetkan produksi listrik dari panas bumi sebesar 2.300 megawatt (MW) hingga 2025.
Presiden Direktur Pertamina Geothermal Rony Gunawan mengatakan, saat ini produksi listrik panas bumi perseroan mencapai 402 MW. Beberapa proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dengan total kapasitas 655 MW, sedang digarap perusahaan, sementara 1.210 MW proyek-proyek baru tengah dipersiapkan untuk dilaksanakan.
“Jadi, apabila seluruh proyek tersebut tuntas kelak kapasitas produksi listrik panas bumi Pertamina Geothermal akan mencapai 2,3 gigawatt (GW),” kata Rony, di Jakarta, Senin (19/5/2014).
Rony menambahkan, dari proyek-proyek yang sedang berjalan dalam jangka menengah sampai dengan tahun 2018, kapasitas PLTP ditargetkan mencapai 847 MW.
Seperti PLTP Kamojang unit 5 dengan kapasitas 35 MW akan mengalirkan uap pada 2015, PLTP Karaha unit 1 berkapasitas 30 MW di tahun 2016, PLTP Lahendong unit 5&6 dengan kapasitas 2x20 MW pada 2016, PLTP Ulubelu unit 3&4 berkapasitas total 40 MW masuk pada 2016 dan 2017.
PLTP Lumut Balai 1&2 dengan kapasitas total 2x55 MW akan masuk pada 2016 dan 2018 serta PLTP Hululais 1&2 dengan kapasitas 2x55 MW masuk pada 2017 dan 2018.
“Sehingga nanti pada tahun 2018, PGE sudah memiliki kapasitas produksi 847 MW, baik dari kegiatan total proyek maupun produksi uap. Ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak pernah berdiam diri untuk terus mencari dan memproduksi listrik dari panas bumi,” paparnya.
Rony mengungkapkan, untuk mempercepat pelaksanaan proyek-proyek panas bumi di masa mendatang diperlukan beberapa dukungan yang memungkinkan investasi yang ditanamkan dapat memberikan hasil yang menarik bagi investor.
Setelah masalah tarif kini sudah ada solusi, kendala utama yang dihadapi perusahaan saat ini, terutama pada wilayah kerja pertambangan (WKP) baru adalah tidak adanya komitmen atau jaminan yang mengikat pada proses tender sehingga kecenderungan pengembang menawar dengan harga rendah agar menang dan tidak ada batas waktu pengembangan yang pasti.
"Ini merugikan bagi perusahaan yang serius ingin mengembangkan panas bumi, termasuk PGE,” pungkasnya. (Pew/Ndw)
Advertisement