Liputan6.com, Kupang - Dari tepi jalan sebuah Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, sayup-sayup terdengar lantunan musik yang membuat penasaran. Suara itu berasal dari salah satu pondok sederhana milik perajin Sasando Rote, Jeremias August Pah.
Jari jemari Pria berusia 78 tahun itu begitu terampil memainkan alat musik asli Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Bersama anaknya, dia membawakan lagu Indonesia Tanah Air Beta yang keluar dari petikan senar Sasando Rote.
Dalam keterbatasan waktu, Liputan6.com dan tim dari Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan pada Rabu (21/5/2014), berkesempatan mewawancarai Jeremias.
Ternyata, kepiawaian memainkan Sasando juga seiring sejalan dengan kemampuannya membuat alat tersebut. Lewat alat musik ini Jeremias bisa menghidupi keluarganya.
Dia menuturkan, Sasando mempunyai beberapa jenis mulai dari desain senar 24 sampai 56 senar. Harganya pun bervariasi dari yang paling murah sebesar Rp 100 ribu sampai paling mahal dibanderol Rp 5,6 juta per buah.
"Biasanya Sasando yang banyak dibeli turis berukuran sedang seharga Rp 1,5 juta-Rp 2,5 juta per buah," papar dia yang telah menerima puluhan penghargaan itu.
Jeremias mengaku kerap kewalahan dalam menerima pesanan Sasando dari berbagai pihak, contohnya perusahaan, pribadi.
Advertisement
"Kalau lagi ramai bisa ratusan sasando terjual yang ukuran kecil sampai sedang. Jadi omzet nggak bisa dipastikan," tandas Jeremias.
Menurutnya, memainkan Sasando harus dipadukan dengan tampilan lengkap berupa topi Tiilangga dan kain tenun khas Pulau Rote.
Uniknya, topi Tiilangga terbuat dari daun lontar yang memiliki antena sembilan tingkat diatasnya. Topi ini mempunyai filosofi di balik rancangannya, di mana kesembilan lekukan itu mengartikan sembilan strata dalam pemerintahan berkuasa pada masa itu.
Mengulik soal sasando, alat musik ini hampir punah. Pasalnya Jeremias mengaku bahwa jumlah pengrajin sasando di daerahnya terus menyusut.
"Masih ada pengrajinnya tapi jumlahnya agak berkurang," kata dia saat berbincang dengan wartawan di Kupang, NTT.
Beruntung masih ada sosok seperti Jeremias yang berkomitmen menjaga warisan budaya bangsa ini sejak tahun 1970-an. Keahliannya membuat dan memainkan alat musik Sasando, membawa Pria kelahiran Pulau Rote ini meraup berkah.
Setiap hari selalu saja ada tamu yang menghampiri pondoknya untuk sekadar berwisata maupun membeli Sasando. Kata dia, wisatawan kepincut alat musik ini karena bentuknya yang unik perpaduan dari bahan baku daun lontar, kayu jati dan bambu.
Selain itu, alat musik petik ini dapat mengeluarkan nada-nada indah dari senar sasando. "Tadinya cuma cari informasi sambil berwisata, tapi karena tertarik belajar, mereka akhirnya membeli sasando," ujarnya.
Jeremias menyebut, wisatawan yang sering berkunjung ke pondok tersebut berasal dari dalam dan luar negeri, seperti Denmark, Australia, Amerika Serikat, Inggris dan lainnya. (Fik/Nrm)