Sukses

Wewenang Dibatasi, Banggar DPR Tetap Bisa Korupsi

"Keputusan MK ini tidak menjamin akan mengurangi tingkat korupsi di anggaran," terang Direktur Eksekutif Core Indonesia, Hendri Saparini.

Liputan6.com, Jakarta - Core Indonesia memperkirakan peluang korupsi dalam penyusunan anggaran masih akan terbuka lebar meski Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan tuntutan judicial review terhadap Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Tuntutan ini diajukan oleh beberapa pihak seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Ketiga lembaga ini melihat adanya praktik penyimpangan (korupsi) dalam proses penyusunan anggaran yang melibatkan Badan Anggaran (Banggar) DPR, sehingga menghambat dan mengakibatkan inefisiensi pemanfaatan APBN.

Direktur Eksekutif Core Indonesia, Hendri Saparini mengungkapkan, ada empat poin penting dalam keputusan MK, salah satunya keberadaan Banggar yang tetap dipertahankan mengingat praktik penyimpangan atau korupsi dilakukan oleh beberapa oknum.

Keputusan lainnya, kewenangan Banggar dalam pembahasan APBN tak lagi terlalu rinci, menghapus kewenangan Banggar untuk menunda pencairan anggaran sehingga kewenangan terbatas pada persetujuan dan pengawasan anggaran serta perubahan APBN Perubahan hanya dapat dilakukan bila terjadi perubahan asumsi ekonomi makro atau postur APBN signifikan.

"Keputusan MK ini tidak menjamin akan mengurangi tingkat korupsi di anggaran. Karena anggaran itu turun ke Kementerian/Lembaga (K/L) dan kewenangan lebih besar di sana sehingga ada peluang melakukan korupsi," jelasnya dia saat diskusi  bertemakan 'Keputusan MK: Momentum Reformasi APBN', Jakarta, Rabu (28/5/2014).

Lebih jauh dia menilai, celah korupsi bahkan bisa menjadi lebih besar sejalan dengan semakin tingginya peran eksekutif, apabila peran lembaha pengawas keuangan seperti Inspektorat Jenderal (Irjen), Badan Pengawas Keuangan (BPK), serta Badan Pengawas Keuangan Pemerintah (BPKP) tidak diperkuat.

"Optimalkan lembaga yang sudah ada, misalnya BPK yang punya sumber daya manusia tersebar di seluruh Indonesia sehingga bisa memonitoring penyusunan anggaran. Jadi keberadaan UKP3R nggak perlu lagi," paparnya.

BPK, tambah Hendri, rutin menemukan penyimpangan anggaran berulang di K/L. "Ini follow up-nya bagaimana, jangan sampai cuma pengawasan saja tapi juga menindaklanjuti temuan-temuan berulang ini," ucapnya.

Selain mereduksi potensi korupsi pada Banggar DPR, kata dia, masih banyak yang perlu ditempuh agar penyusunan serta pemanfaatan APBN lebih efektif dan efisien.

"Ada banyak pola penyusunan APBN selama ini menjadi batu sandungan dalam mencapai fungsi anggaran yang ideal, baik fungsi alokasi, distribusi maupun stabilisasi," terangnya.

Hendri berharap ada langkah fundamental yang perlu dibenahi yakni menyusun perencanaan dan penganggaran yang komprehensif, fokus terintegrasi di seluruh sektor dan level pemerintahan baik pusat maupun daerah. (Fik/Ndw)

Video Terkini