Sukses

BPKP Digugat oleh Rekanan PLN

Direktur Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan menggugat Deputi Kepala BPKP bidang Investigasi dan Tim Audit BPKP yang menerbitkan LHPKKN.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) digugat oleh salah satu petinggi rekanan PT PLN dalam proyek pengadaan barang dan jasa life time extension (LTE ) gas turbine (GT) 2.1 dan 2.2 PLTGU Belawan.

Gugatan tersebut dilakukan oleh Direktur PT Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan melalui tim kuasa hukumnya. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Bahalwan menggugat BPKP terkait perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pekerjaan pengadaan barang dan jasa LTE GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Belawan.

Ia menilai Laporan yang dikeluarkan BPKP dinilai cacat hukum karena BPKP secara yuridis tidak memiliki wewenang untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dan laporan tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang benar.

Salah satu Kuasa Hukum Mohammad Bahalwan, Ari Juliano Gema mengatakan, dalam gugatan yang diajukan ke PTUN Jakarta tersebut, kliennya menggugat Deputi Kepala BPKP bidang Investigasi dan Tim Audit BPKP yang menerbitkan Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) terkait kasus dugaan korupsi di PLTGU Belawan.

“Badan yang berwenang menetapkan jumlah kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum maupun perorangan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK,” jelas Juliano seperti tertulis dalam keterangan pers, Jumat malam (6/6/2014).

Dasar gugatan selanjutnya adalah fakta bahwa penerbitan LHPKKN oleh BPKP tidak sesuai dengan prosedur dan standar audit investigasi yang benar. Sesuai prosedur, sebelum menerbitkan hasil audit, BPKP selaku auditor harus meminta tanggapan atas kesimpulan hasil auditnya kepada pihak-pihak yang relevan, antara lain PT PLN sebagai pemberi pekerjaan dan Mapna Co selaku kontraktor yang mengerjakan LTE GT 2.1 dan 2.2. 

“Faktanya, BPKP tidak pernah menghubungi PLN, Mapna Co, atau Mapna Indonesia, apalagi meminta tanggapan atas hasil auditnya,” tambah Juliano.

Di samping itu, laporan penghitungan kerugian negara BPKP tersebut juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kepastian hukum dan asas profesionalitas serta asas kecermatan.

“BPKP seharusnya memahami batas-batas wewenangnya terkait dengan permintaan Kejaksaan Agung untuk menghitung kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan oleh klien kami,” tutur Juliano.

Ia pun melanjutkan, laporan kerugian keuangan negara yang dikeluarkan BPKP telah merugikan kliennya, yaitu Mohammad Bahalwan, yang dijadikan terdakwa bersama sejumlah pejabat PLN yang saat ini dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Medan.

Sebab, dalam laporan tersebut disimpulkan telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian dan telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 337 miliar dan pendapatan PT PLN yang tidak terealisasi sebesar Rp 2 triliun. (Gdn)