Liputan6.com, Jakarta Program konverter kit untuk konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) pada kendaraan hingga saat ini belum berjalan. Salah satu penyebab mandeknya program ini karena belum tersedianya infrastruktur penyedia BBG yaitu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).
"Saya kira masalah gas tidak ada masalah. Yang masalah, soal konverter kit-nya itu karena cukup mahal, kemudian bagaimana mengembangkan SPBG itu," ujar Anggota Komite BPH Migas Qoyyum Tjandranegara di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2014).
Untuk mengatasi kekurangan SPBG itu, lanjut dia, sebenarnya bisa diakali dengan membangun SPBG online di dekat dengan aliran pipa gas. Hal ini dinilai lebih efisien jika dibandingkan membangun SPBG yang jauh dari aliran gas.
"Itu murah padahal, tapi itu kan hanya beberapa perusahaan bisa melakukan itu, terutama Pertamina dan PGN yang dananya diberikan pemerintah," katanya.
Selain itu, untuk mempercepat pertumbuhan SPBG, lanjut Qoyyum, hal tersebut hanya bisa dilakukan jika pemerintah mau bekerjasama dengan pihak swasta. "Kalau mau berkembang SPBG itu kan harus swasta, dilibatkan, dimana mana di dunia kaya gitu. Nggak ada pemerintah yang membiayai itu, komersial SPBG itu swasta," lanjut dia.
Sementara itu, untuk mengatasi perbedaan harga gas yang timbul antara SPBG online dengan SPBG non-online, maka pemerintah bisa memberikan subsidi pada non-online atau menaikan harga pada SPBG online sehingga harganya sama.
"Kalau kaya gitu ada perbedaan harga , karena diangkut kemudian ada alat untuk regasifikasi di tempat itu, jadi mahal. Pemerintah harus segera memutuskan, apakah mau subsidi yang non-online atau online dinaikin. Harga keuntungan dikasih pemerintah," tandasnya. (Dny/Ndw)
Proyek SPBG Mandek, Pemerintah Harus Gandeng Swasta
SPBG sebaiknya dibangun dekat dengan aliran pipa gas.
Advertisement