Liputan6.com, Jakarta - Adanya depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi sejak pertengahan 2013, menjadikan beberapa perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk valuta asing (AS) semakin terbebani.
Untuk itu Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu langsung mengeluarkan peraturan mengenai lindung nilai (hedging) untuk perusahaan yang mempunyai tujuan untuk mencegah kerugian semakin mendalam.
Namun ternyata, fasilitas tersebut masih kurang digunakan oleh perusahaan di Indonesia terutama perusahaan milik pemerintah atau yang berada di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Menaggapi hal itu, Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku ada alasan tersendiri mengapa perusahaan BUMN belum memanfaatkan fasilitas itu. "Jadi sebenarnya banyak BUMN enggan melakukan hedging karena kalau itu dilakukan nanti dikira kerugian negara," ungkap Chatib di kantornya, Kamis (19/6/2014).
Chatib mencontohkan anggapan itu sama dengan prinsip pembayaran premi asuransi yang dilakukan ke sebuah perusahaan asuransi. "Misalnya begini, kalau kita punya asuransi, saya sudah bayar premi tapi saya tidak sakit, pasti kan mikirnya wah saya rugi, begitu," jelasnya. Chatib mengaku selama ini perusahaan BUMN masih lebih memilih bertransaksi di pasar spot.
Untuk itu, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini menilai aturan mengenai pemberian fasilitas hedging ini perlu ditinjau ulang.
"Pertamina tidak melakukan hedging itu karena takut dituduh merugikan negara, jadi mesti ditinjau regulasinya, jadi kalau BUMN melakukan itu, dia tidak disalahkan, karena ini kan soal akuntansi arahnya," jelas dia. (Yas/Gdn)
Ini Alasan Perusahaan BUMN Enggan Gunakan Fasilitas Hedging
Menteri Keuangan Chatib Basri menilai aturan mengenai pemberian fasilitas hedging ini perlu ditinjau ulang.
Advertisement