Sukses

Mau Investasi di RI, Pengusaha Kapal Harus Berani Mati

Beban pengusaha kapal semakin menumpuk karena biaya operasional yang besar.

Liputan6.com, Jakarta - Industri perkapalan di Indonesia kian terhimpit mulai dari persoalan biaya operasional hingga persaingan ketat. Investor atau perusahaan yang berniat menanamkan modalnya di industri ini perlu berjuang keras supaya bisa bertahan hidup.

 
Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian, Lucky Eko Wuryanto mengungkapkan, industri kapal di Indonesia ditangani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Kalau ada (investor) yang mau masuk di industri ini harus berani mati karena di China, perusahaan kapal sudah bisa bikin kapal dengan besi produksi sendiri dan keahlian," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Medan, seperti ditulis Senin (23/6/2014).

Guna menekan ongkos produksi kapal, Lucky menyarankan supaya perusahaan di Tanah Air untuk mengimpor kapal dari negara lain.

"Lebih baik beli kapal saja, jika bikin kapal malah lebih mahal. Impor saja karena kemampuan industri kapal di Indonesia ada, tapi belum siap 100 persen," katanya.

Lanjut Lucky, beban pengusaha kapal semakin menumpuk karena biaya operasional yang besar. Inilah yang memicu kenaikan harga. "Kapal dari barat ke timur biasanya perginya bawa barang, tapi pulangnya suka kosong. Jadi kapal yang kirim barang ke Makassar misalnya harus membayar dua kali," terangnya.

Untuk itu, kata dia, saran mengimpor kapal akan dapat mengurangi investasi. Hal tersebut juga perlu ditunjang dengan pembangunan kawasan industri di Timur Indonesia sehingga kapal dapat mengangkut barang ke arah Barat dan memperoleh keuntungan.

"Tak apa impor kapal, yang benting dipakai dan dia dapat untung. Makanya harus ada industri di timur, seperti di Bitung, Ambon atau Papua supaya ada barang yang bisa diangkut pulangnya, ujar dia.

Selain itu, Lucky mengaku, bila ingin menjadi hub pelayaran, perairan Indonesia harus mampu dilewati kapal-kapal besar dengan kapasitas 5.000 sampai 10.000 TEuS. Namun saat ini kapasitas kapal di Tanah Air yang mondar mandir maksimal baru 1.700 TEuS.

"Yang dibilang Jokowi 3.000 TEuS mondar mandir ya bisa, tapi tidak efisien. Kita kan maunya jadi hub dari Jakarta, Surabaya langsung misalnya ke Tiongkok. Itu harus menggunakan kapal besar," paparnya.

Dengan begitu, tambah Lucky, bisnis perkapalan di Indonesia dapat tumbuh menggeliat seperti negara maritim lain, Yunani dan Finlandia yang sudah mengecap kemajuan di industri tersebut. (Fik/Ndw)