Liputan6.com, Jakarta - Masih ingat dengan jargon iklan Pic, Pic, Olympic? Sebuah kata sederhana namun begitu melekat di benak masyarakat Indonesia pada era 1980-an hingga saat ini.
Jargon pemasaran itu sangat cocok menggambarkan produk furnitur lokal merek Olympic yang merupakan pionir di kelas produk bongkar pasang alias knock down.
Di balik nama besar Olympic, ada peran dari sang Pendiri sekaligus Presiden Direktur PT Cahaya Sakti Furintraco, Au Bintoro. Dia sukses mengantarkan Olympic menjadi pemimpin pasar dikategori knock down furnitur selama tiga dekade ini.
Olympic kini telah bertumbuh pesat. Bukan saja menguasai pasar dalam negeri, tapi juga merajai pasar ekspor di Timur Tengah.
Baca Juga
Maklum, sebesar 80 persen dari produk furnitur Olympic diserap pasar domestik, sedangkan sisanya dilempar ke luar negeri, terutama Timur Tengah.
Saat ini tercatat ada lebih dari 3.000 toko furnitur yang menjual produk Olympic di seluruh Indonesia, 23 pabrik di 23 provinsi, gudang dan cabang di China, serta agen tunggal atau sentra distribusi di Dubai. Dari Dubai, produk furnitur Olympic lari ke negara lain, seperti Afrika, dan sebagainya.
Dengan jaringan pemasaran yang cukup rapi, Au begitu dia kerap disapa, mampu menjual beragam jenis furnitur sampai 100 ribu unit dalam kurun waktu sebulan. Furnitur tersebut diproduksi di sebuah pabrik yang berlokasi di pinggiran kota Hujan, tepatnya Jalan Kaum Sari, Kedung Halang, Bogor.
Menempati areal seluas 14 hektare (ha), Au Bintoro mempekerjakan sekitar 1.200 karyawan untuk memproduksi sebanyak lebih dari 1.000 produk furnitur, mulai dari meja belajar, furnitur untuk dapur, kamar tidur, ruang keluarga dan masih banyak lainnya.
Setiap bulan selalu meluncurkan dua sampai tiga produk baru, salah satu produk anyar yang bakal dirilis adalah furnitur religi untuk menyambut bulan puasa tahun ini. Â
"Tapi kami juga mengimpor produk furnitur lain dari China karena memang nggak bisa kami bikin di sini, seperti gelas furnitur. Porsinya 15 persen. Kami nggak bermain di situ, tapi produknya ada di gudang kami dan menggunakan merek Olympic," ucap pria kelahiran Tembilahan, Riau, 1 Agustus 1952 itu saat berbincang dengan Liputan6.com di Bogor. Â
Tim Liputan6.com pun berkesempatan menjelajah pabrik Olympic. Menyusuri setiap area pabrik untuk memahami proses produksi furnitur Olympic.
Advertisement
Mulai dari area pengolahan bahan mentah partikel board, lalu masuk ke area cutting, area pembentukan lengkungan produk, area edge banding, area perakitan hingga ke area packing.
Setiap proses dikerjakan seteliti mungkin dengan teknologi canggih. Dengan kapasitas produksi 2.000 pak per hari, pabrik ini mengerjakan furnitur untuk lima merek, yakni Olympic, Silent, Albatros, Solid, dan Procella furnitur.        Â
Kelima merek tersebut, tambah Au, ditujukan untuk target pasar berbeda. Sebut saja Olympic yang lebih mengarah pada kalangan menengah ke bawah, sedangkan Silent dan Albatros menyasar segmen menengah ke atas.
"Untuk model, kami selalu mengikuti tren pasar dan dengan channel distribusi di seluruh Indonesia, semakin mendekatkan produk kami ke pasar dan hemat dalam ongkos distribusi. Jadi harganya bisa lebih murah," tegasnya.
Berawal dari Bisnis Box Speaker
Berawal dari Bisnis Box Speaker
Siapa sangka bila sebelum menggeluti bisnis furnitur, pria yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu menjajaki bisnis box speaker?.
Semuanya berawal dari 1975. Au memutar kembali memori perjalanan karirnya sebagai seorang pengusaha kelas teri yang bermain di bisnis box speaker dengan menempati area pabrik 3.000 ha dan modal Rp 350 ribu dari hasil menjual kalung sang istri. Â
Kala itu, insting Au terhadap prospek box speaker berubah menjadi pesimistis. Sebab peluang tumbuh usaha box speaker di Indonesia mulai meredup, pangsa pasar kian surut karena tren bisnis ini mulai bergeser dari box speaker berbahan partikel board ke arah besi dan plastik.
Karena alasan tersebut, pria yang berwirausaha sejak usia 23 tahun itu berpikir keras untuk memulai bisnis baru yang lebih menjanjikan. Tanpa sengaja, cerita Au, dirinya melihat sebuah kendaraan truk melintas dan membawa lemari yang berpadu dengan meja belajar. Sayangnya furnitur itu berbahan kayu jati yang dibanderol dengan harga mahal.
Akhirnya dari situ muncul sebuah inspirasi untuk melakukan suatu inovasi membuat produk furnitur berbahan partikel board, namun bisa dibongkar pasang dan memikirkan kemampuan daya beli masyarakat Indonesia.
"Nah pertama kali saya menciptakan meja belajar knock down pada 1982 supaya bisa dikirim ke mana-mana mengingat negara kita negara kepulauan. Produk saya ini jadi pelopor di produk knock down furnitur," bangga Au yang mengaku buta bisnis furnitur pertama kali namun punya keahlian mendesain. Â
Dia bersyukur produk pertamanya mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Indonesia. Ini juga berkat nama Olympic yang terinspirasi dari Olympiade pada 1983. Au memanfaatkan momen pesta olahraga dunia itu sekaligus untuk mendompleng promosi.
Sejak saat itu, nama Olympic meroket, bisnis furniturnya makin bersinar dan mampu membangun brand image sampai sekarang meski pemasaran hanya gencar dilakukan melalui pameran.     Â
"Membangun brand lokal itu susah, butuh waktu dan uang. Tapi produk meja belajar pertama saya sangat diminati pelajar dan mahasiswa. Olympic sering dijadikan kado atau hadiah saat kenaikan kelas, acara tertentu karena nama Olympic sudah melekat di benak masyarakat. Produk furnitur ya Olympic," jelasnya.
Advertisement
Krisis Mengguncang
  Â
  Â
Krisis Mengguncang
Membangun kerajaan bisnis di bawah bendera Olympic Group membutuhkan perjuangan panjang dan melelahkan. Selama 32 tahun melakoni bisnis furnitur, Au mengatakan, telah menghadapi dua kali badai krisis keuangan yang menimpa Indonesia.
Paling parah dia rasakan pada tahun 1997-1998. Kenyataan pahit itu mengguncang perusahaannya karena Olympic baru saja mengantongi pinjaman perbankan senilai US$ 20 juta.
Saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpuruk hingga menyentuh level Rp 16 ribu. Padahal ketika mendapatkan utang, kurs rupiah masih Rp 800 per dolar AS.
Bahkan Au bilang, akibat krisis tersebut, dirinya terpaksa menjual seluruh aset non produktifnya termasuk melepas lahan di kawasan industri Sentul seluas 40 ha demi membayar utang. Dia pun memupus harapan untuk melakukan ekspansi.
"Sebenarnya sudah bangkrut karena kurs rupiah jatuh sekali, tapi berkat tenaga profesional khususnya keuangan melakukan engineering dan negosiasi dengan pihak bank, lalu masuk ke financial engineering, kami bisa keluar dari krisis dua tahun setelahnya," terang Suami dari Wellih Tan itu.
Kondisi serupa juga dialaminya pada 2008 saat krisis ekonomi kembali bergejolak. Namun belajar dari pengalaman sebelumnya, Au mampu meredam dampak dari krisis tersebut.
"Kalau krisis 2008, pengaruhnya sedikit karena kami punya ekspor. Dan saat ini andaikata krisis terjadi lagi, kami sudah lakukan antisipasi seperti mengurangi utang dalam dolar AS dan menggenjot ekspor sampai 30 persen," tuturnya.
Relokasi ke Sukabumi
Relokasi ke Sukabumi
Meskipun telah meraup omzet sekitar Rp 400-500 miliar per tahun atau terbang jauh dari pendapatan pertamanya di bisnis furnitur Rp 100-200 juta, namun Au mengaku tak sanggup dengan kenaikan upah minimum yang terus mengalami kenaikan signifikan, terutama di Bogor.
Dia menyatakan bakal merelokasi pabrik furnitur Olympic ke kawasan industri di Cikembar, Sukabumi supaya bisa terus membesarkan nama merek lokal ini. Au telah menyiapkan lahan seluas 28 ha untuk membangun pabrik furnitur secara terkluster. Sedangkan keseluruhan luas area lahan kawasan industri itu 235 ha.
Au menuturkan alasan relokasi karena mahalnya lahan di jantung kota Bogor sehingga menyulitkan untuk melakukan ekspansi. Selain itu, tambahnya, upah minimum tenaga kerja di Sukabumi masih lebih rendah dibanding Bogor.
"Ini mimpi saya yang ingin diwujudkan tahun depan. Sekarang lagi persiapan. Sementara pabrik yang di Bogor ini, saya akan gunakan untuk mendirikan bisnis baru di bidang properti, khususnya masuk ke area pemukiman atau perumahan," papar Ayah tiga orang anak ini.     Â
Ambisi lain, kata Au, dirinya ingin membawa Olympic melantai di Bursa Efek Indonesia sebagai perusahaan terbuka dengan target pertumbuhan 15 persen per tahun. "Mau Innitial Public Offering (IPO) supaya bisa dikelola lebih profesional, ada nilai tambah dan bisa memperoleh dana murah dan cepat ekspansi," cetus dia.
Advertisement
Sisi Lain Au Bintoro
Sisi Lain Au Bintoro
Periang merupakan salah satu sikap yang tergambar dari pria yang akan merayakan hari ulang tahun ke 62 tahun itu. Pantas saja bila Kakek dari tujuh orang cucu ini selalu tampil cool dan tak nampak guratan lelah di wajahnya.
Ternyata usut punya usut, Au memiliki hobi bernyanyi dan berolahraga. Saking gemarnya menyanyi, dia mengaku tergabung dalam grup band Olympic yang diambil dari nama merek kebanggaannya. Dalam band itu, Au bertindak sebagai vokalis.
"Saya hobi nyanyi dan punya band sendiri untuk tampil. Tapi bukan komersial lho, paling kalau ada teman minta kita tampil ya bersedia," ujarnya yang mengaku punya studio musik di kawasan pabrik Olympic.
Di tengah kesibukannya mengurus Olympic Grup, Advisor Council di Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) itu masih memberikan perhatian lebih kepada karir dan masa depan tiga orang anaknya.
Pengalaman paling berkesan sepanjang hidupnya adalah ketika salah satu anaknya, Imelda Fransiska menyabet gelar sebagai Miss Indonesia 2005. "Biarpun sibuk saya masih bisa mengorbitkan dan melihat anak saya menjadi Miss Indonesia. Itu membuat saya bahagia," ucap Au.
Kini, dia sangat berharap kepada Presiden terpilih periode 2014-2019 agar memperhatikan nasib bisnis furnitur Indonesia. Pasalnya negara ini mempunyai sumber daya alam dan tenaga manusia terampil yang mampu mengantarkan Indonesia menjadi Raja Furnitur ke depan.
"Siapapun Presiden nantinya diharapkan bersih dan merakyat karena industri furnitur lokal punya potensi besar tumbuh dan menjadi nomor satu di dunia. Salah satunya dengan mengendalikan upah minimum dan membangun infrastruktur yang memadai," harapnya.
Au juga berpesan kepada para generasi muda yang ingin memantapkan hati menjadi pengusaha bahwa harus mempunyai mimpi besar. Jika sudah berani bermimpi, maka tahap selanjutnya adalah melangkah atau merealisasikan mimpi itu.
"Penting pula membangun nama baik dan kepercayaan, tanpa itu semua kita nggak akan bisa maju. Soal modal itu akan datang dengan sendirinya jika kepercayaan sudah didapat. Jadi modal bukanlah segalanya," tutup dia mengakhiri perbincangan.(Fik/Nrm)