Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah untuk menaikan tarif listrik bagi industri dan beberapa golongan rumah tangga dinilai lebih banyak merugikan pengusaha. Pasalnya sektor industri tersebut merupakan sektor yang produktif dan banyak menyerap tenaga kerja.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Franky Sibarani mengatakan kenaikan tarif listrik ini akibat ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi target pendapatan negara.
"Kita tetap tidak setuju dengan kenaikan itu. Menurut saya itu lebih kepada paniknya pemerintah yang tidak bisa mengelola kewajibannya dalam mengumpulkan pajak sehingga target penerimaannya tidak tercapai," ujarnya di Jakarta, Rabu (2/7/2014).
Menurutnya, kenaikan ini sebagai salah satu contoh kebijakan energi tidak rasional yang dilakukan oleh pemerintah karena tarif listrik yang dinaikan paling besar justru pada sektor yang produktif. Sedangkan sektor yang tidak produktif tidak dinaikan secara proporsional.
Hal ini dinilai tidak adil karena sektor yang non-produktif seperti rumah tangga untuk golongan tertentu justru tidak dinaikan.
Padahal beban pengusaha akibat kenaikan upah minimum provinsi terus meningkat dan dinikmati oleh buru yang berasal dari sektor rumah tangga.
"Saya mengkritisi pemerintah yang tidak menaikkan golongan rumah tangga dengan daya 450 Va dan 900 Va yang bayarnya hanya Rp 30 ribu dan Rp 60 ribu per bulan sudah 10-11 tahun tidak naik. Tetapi UMP dalam 5-6 tahun terakhir sudah naik 90%-100%. Jadi pemerintah irasional dalam mengambil keputusan," jelas dia.
Akibat kenaikan tarif ini, lanjut Franky, memiliki dampak yang besar terhadap pabrik-pabrik yang ada di dalam negeri seperti pengurangan kapasitas, penghentian produksi hingga penundaan investasi atau ekspansi pabrik.
"Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap daya saing kita yang semakin rendah," katanya.
Sementara itu, Franky juga menyatakan bahwa pengusaha juga tidak berbuat banyak untuk menutupi lonjakan biaya produksi akibat kenaikan ini.
"Problemnya tidak semua bisa didorong untuk naik (harga jual produk), karena ada kontrak tahunan yang harus ditaati. Dan ini bukan hanya listrik, rupiah melemah juga menjadi tekanan. Tidak mungkin kenaikan biaya produksi dialihkan pada kenaikan harga ke konsumen. Kalau tidak sanggup omset bisa turun, atau barangnya tidak laku," tandasnya. (Dny/Nrm)