Sukses

RI Harus Berani Lawan Newmont di Arbitrase

Pemerintah harus menyusun kekuatan untuk menghadapi persidangan atas tuntutan hukum tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda, mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor yang diterapkan di Tanah Air.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan, pemerintah harus berani menghadapi pengajuan tuntutan arbitrase PTNNT.

"Saya kira kita harus hadapi itu, tidak ada masalah," kata Marwan saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (2/6/2014).

Marwan menuturkan, saat ini pemerintah harus menyusun kekuatan untuk menghadapi persidangan atas tuntutan hukum tersebut. Yaitu dengan menyusun tim internal dan penasihat hukumnya.

"Kita persiapkan internal.  Untuk persidangan, kita siapkan juga tim penasihat hukumnya, yang penting kita punya semangat kuat bertarung gugatan itu," pungkasnya.

Presiden Direktur PTNNT Martiono Hadianto sebelumnya mengatakan, alasan Newmont menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase karena kebijakanyang diambil pemerintah tersebut telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.

Pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada PTNNT oleh Pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.

Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan kembali. (Pew/Ndw)