Liputan6.com, Jakarta - PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda, mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor yang diterapkan di Tanah Air.
Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung menyatakan, permasalahan PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) sebenarnya tidak seberat yang ditanggung PT Freeport Indonesia. Pasalnya, berakhirnya kontrak antara Newmont dan pemerintah Indonesia masih lebih panjang dibandingkan Freeport yang hanya sampai 2021.
"Tapi Freeport saja masih tenang-tenang," kata Chairul di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rapu (2/7/2014).
Chairul menjelaskan, permasalahan Newmont adalah proyek kontruksi pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral yang bekerja sama dengan Freeport. Pembangunan smelter dilakukan bersama karena produksi tembaga Newmont tidak ekonomis dengan nilai investasi pembangunan smelter jika dilakukan sendiri.
"Tapi problemnya dia tidak bangun smelter sendiri, bangunnya kerja sama Freport. Jadi begitu Freeport tidak jadi bangun smelter, ya dia juga tidak jadi," tuturnya.
Namun, Chairul berharap, Freeport tidak mengikuti jejak Newmont yang menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional. Jika opsi itu akan dilakukan, Freeport pasti akan mempertimbangkannya berkali-kali.
"Mereka (Newmont) memperlihatkan itikad tidak baik," ungkapnya.
Chairul juga menyayangkan sikap Newmont tersebut karena saat ini pemerintah dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut masih dalam proses renegosiasi kontrak. Selain itu, Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 yang mengamanatkan pelarangan ekspor mineral sudah diumumkan lima tahun lalu.
"Kenapa gugatan itu tidak keluar saat UU disahkan? Kenapa lima tahun lebih baru ngomong?" pungkasnya. (Pew/Ndw)
Advertisement