Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Tambang Emas Indonesia (ATEI) menyayangkan kasus perusahaan tambang yang melakukan tuntutan ke arbitrase internasional. Pasalnya hal tersebut dapat merusak citra Indonesia di mata dunia.
Padahal, Ketua ATEI Natsir Mansyur mengungkapkan bisnis tambang di Indonesia makin lesu. Hal tersebut diduga adanya kebijakan pemerintah yang tidak pro bisnis.
“Ini kan disayangkan Presiden SBY selalu mengatakan kebijakan pro bisnis dan perlunya Indonesia incorporeted tapi implementasinya tidak jalan. Malah bisnis mineral ini berantakan,” kata dia dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (3/7/2014).
Advertisement
Natsir menilai, pemerintah tidak siap menjalankan Undang-undang minerba, padahal industri smelter sangat dibutuhkan negara.
Ia menambahkan, bisnis mineral Indonesia terhambat pemberlakuan bea keluar (BK) Permenkeu No.6/2014, penerapan Kepres tentang program hilirisasi mineral yang tidak fokus, juga termasuk kebijakan insentif bagi para investor untuk membangun smelter.
Selain itu, ditambah kebijakan gas untuk smelter yang belum masuk hitungan neraca gas. Ia meminta agar pemerintah segera menerbitkan RPP Perindustrian tentang sumber daya alam. Dengan hal itu dapat berdampak baik pada pembangunan industri smelter.
“Bila aturannya sudah jelas, nanti pasti ada kepastian bahan baku dan jelas arahnya,” pungkasnya.
PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda, mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor yang diterapkan di Tanah Air.
Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan kembali. (Amd/Ahm)
Baca juga:
Terima Laporan RI Digugat Newmont ke Arbitrase, SBY Cuma Senyum