Liputan6.com, Jakarta- Ekonom Standard Chartered Indonesia, Eric Sugandhi memperkirakan program visi misi dari calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mulai menaklukkan perhatian masyarakat.
Tapi apakah semua itu bisa menjadi modal bagi kandidat nomor satu ini untuk memenangkan pemilihan presiden (pilpres) dan mengangkat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)?
"Pelaku pasar sudah mulai melihat adanya kemungkinan Prabowo yang menang, tapi tetap saja butuh dukungan juga dari anggota parlemen. Dan tinggal melihat adjustment dari pelaku pasar jika dia jadi Presiden," ucap Eric kepada Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Senin (7/7/2014).
Sayang, lanjut dia, jika Prabowo menaklukkan Jokowi dalam putaran pilpres 9 Juli mendatang, pelaku pasar masih perlu melakukan adaptasi atas kemenangan tersebut.
"Kalau Prabowo menang dan pasar belum cepat melakukan penyesuaian bahwa dia yang menang, maka rupiah mungkin akan melemah. Jadi kuncinya memang ada di kecepatan pelaku pasar untuk melakukan ekspektasi," jelas dia.
Dari perkiraan skenario terburuk, Eric meramalkan nilai tukar rupiah dapat anjlok sampai level Rp 12.500 per dolar AS. Namun itu hanya akan bersifat sementara atau jangka waktu mingguan sebagai reaksi dari pelaku pasar atas hasil pilpres.
"Gonjang-ganjingnya hanya di kuartal III saja, dan jangka pendek doang. Nanti di kuartal III akhir atau kuartal IV tahun ini pasti sudah ada perbaikan," tandas dia.
BI Akui Pilpres Bikin Rupiah Ambruk
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo sebelumnya mengakui kompetisi dua pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa serta Joko Widodo-Jusuf Kalla menuju kursi Presiden dan Wakil Presiden menjadi salah satu pemicu ambruknya nilai tukar rupiah. Ini disebabkan karena kekhawatiran investor terhadap pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli mendatang.
"Faktor suasana pemilihan presiden yang berpengaruh ke rasa khawatir pemodal terhadap persaingan di pilpres. Kita meyakini semua baik, tapi ada pemodal yang khawatir dengan kompetisi yang ketat ini," tutur dia.
Lebih jauh kata Agus, BI selalu ada di pasar spot namun tak mematok target nilai tukar rupiah pada level tertentu. Hal ini dilakukan sesuai mandat dan tanggung jawab lembaga independen itu untuk menjaga volatilitas rupiah agar bergerak secara halus.
Dia mengaku, volatilitas kurs rupiah tahun ini tak separah kondisi di 2013. Sebab nilai tukar rupiah sempat menembus level Rp 12 ribu per dolar AS.
"Kondisi yang kita perlu terus jaga adalah inflasi dan menyehatkan transaksi berjalan. Serta melakukan pendalaman pasar keuangan yang juga menjadi perhatian. Kalau ketiganya menunjukkan kondisi membaik, kurs akan terpengaruh," tuturnya.
BI, sambung dia, secara teratur mengikuti pergerakan kurs agar rupiah bergerak sesuai fundamental ekonomi, selain meyakini inflasi akan bergerak di level 4 persen plus minus 1 persen.
"Pemerintah dan BI sudah sepakat menetapkan target inflasi di 2018 sebesar 3,5 persen plus minus 1 persen. Dalam hal ini, kita meningkatkan koordinasi dengan pemerintah supaya bisa meraih inflasi yang sesuai ekonomi Indonesia," tandas Agus (Fik/Ndw)
Advertisement