Sukses

Peter Gontha, Bos Java Jazz Festival yang Berani Ambil Risiko

"Saya eksekutif yang sukses bukan pengusaha, karena saya bekerja untuk orang banyak," tutur Peter Gontha.

Liputan6.com, Jakarta - Istilah semua yang dipegang jadi uang, sangat layak disematkan untuk pengusaha sukses Peter F Gontha. Sebab, pria paruh baya ini meraup pundi-pundi uang dengan mendirikan sejumlah perusahaan besar dan lalu menjualnya dengan harga fantastis.

Sebut saja Plaza Indonesia Realty atau lebih dikenal dengan Grand Hyatt, Bali Intercontinental Resort, RCTI, Telkomvision, Indovision, PT Chandra Asri, FirstMedia, PT Jasa Angkasa Semesta, hingga  perusahaan tanker terbesar di dunia Osprey Maritime Tankers yang bermarkas di Singapura.

Terakhir, putra V Willem Gontha dan Alice ini mendirikan pertunjukkan musik berskala internasional, Java Jazz Festival dengan sang anak. Ini dilakukan sebagai rasa kecintaannya terhadap musik Jazz dan mengharumkan nama bangsa.

Rekam jejak Peter Gontha sangat menarik untuk diikuti. Dilahirkan pada 4 Mei 1948, Peter mulai mengecap bangku sekolah dasar Besuki di 1958. Lalu pada 1960, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Kanisius. Namun dia kerap tinggal kelas. Akhirnya dia menamatkan pendidikan SMA pada 1967.

Di tahun yang sama, menurut Peter, orang tua memindahkannya ke Denhaag, Belanda tanpa visa dan berbekal uang US$ 200.

"Sampai Amsterdam saya nggak tahu mau kerja apa, ya sudah saya bekerja jadi supir taksi saja," ujar Peter di Jakarta, seperti ditulis Minggu (13/7/2014).

Berkat kemampuan berbahasa Inggris, Belanda dan Indonesia yang fasih, dia memutuskan untuk pindah bekerja di sebuah kapal. Saat itu, Peter mengaku memperoleh bayaran US$ 1.500 per bulan tanpa perlu membayar sewa tempat tinggal dan makan. Dari hasil kerja kerasnya selama enam bulan, terkumpul lah uang US$ 9.000.

"Lalu saya kembali ke Indonesia dan diterima bekerja di Shell atas rekomendasi teman. Nah dari uang US$ 9.000 itu saya membangun usaha dan menikah di usia 20 tahun," ucapnya.

Tak berhenti sampai disitu, Peter menuturkan, dia menerima beasiswa belajar akunting di Praehap Institute Belanda dari Shell. Dari pendidikannya itu, dia menguasai automatisasi sembilan bahasa komputer, akunting dan bisnis.

Mencari tempat terbaik, dia kembali bekerja di Citibank pada 1975 lalu pindah di NCR Salesman pada 1979. Di perusahaan tersebut, Peter mengaku mulai pertama kali berjualan komputer ke salah satu pejabat Sudono Salim dengan penghasilan US$ 25 ribu.

Tidak puas, Peter terbang ke Hong Kong dan bekerja sebagai Kepala American Ekspress Bank Asia di usia 32 tahun. Bank ini mempunyai cabang di Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong Filiphina, Malaysia, Singapura, Indonesia, India, Pakistan, Srilangka, Australia dan Thailand.  

"Nah dari 1988 saya dirikan perusahaan Osprey Maritime Tangkers, Indonesia Air Transport di 1984, Jasa Angkasa Semesta (perusahaan ground handling), dan mendirikan Grand Hyatt dan punya saham 7%. Saya sudah jual semuanya," kata dia.

Pada 1989, Peter tertarik mendirikan stasiun televisi swasta RCTI, kemudian Liputan6 SCTV, membangun Bali Intercontinental di Bali, Indovision, Chandra Asri, FirstMedia, Telkomvision.

"Pokoknya bikin, lalu kalau harganya cocok jual. Jika tidak ya jangan dulu. Misalnya RCTI dan Indovision itu kan sudah dijual. Jadi kami untung," cetusnya.

Saking banyaknya perusahaan yang sudah didirikan, Peter justru tak merasa seperti seorang pengusaha. Dia lebih senang menyebut dirinya sebagai eksekutif sukses.

"Saya eksekutif yang sukses bukan pengusaha, karena saya bekerja untuk orang banyak. Saya mendirikan perusahaan atau saya yang menjalankan perusahaannya. Jadi harus cerdik dan berani mengambil risiko," pungkas Peter. (Fik/Ahm)

Video Terkini