Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Bambang Brodjonegoro menyatakan bonus demografi yang dimiliki seharusnya mampu membawa Indonesia keluar dari jeratan kaum menengah (middle income trap).
"Kita punya modal bonus demografi untuk bisa keluar dari middle income trap. Kalau untuk menjadi higher income mungkin butuh waktu yang panjang," ujarnya saat seminar Hari Kependudukan Sedunia di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (14/7/2014).
Dia menjelaskan, middle income trap merupakan sebuah kondisi dimana suatu negara yang GDP-nya berada pada level menengah dalam jangka waktu yang lama.
"Pada tahun 1990-an, Indonesia sebenarnya sudah naik kelas middle income country. Tapi gara-gara krisis yang melanda, kita yang sudah naik itu kemudian turun ke lower middle income class," lanjutnya.
Pada era tersebut, lanjut Bambang, sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mencapai 7 persen. Namun pada masa sekarang kembali mengalami penurunan dimana pada tahun lalu hanya mampu tumbuh sekitar 5,8 persen.
"Pertumbuhan itu (5,8 persen) pun sebenarnya cukup tinggi tetapi kita khawatir terjadi lower middle income trap. Karena pada 2015-2016 harusnya kita sudah naik ke upper middle income trap. Maka tantangannya, bisakah kita middle ke upper," katanya.
Menurut dia, jika berbicara daya saing, selama ini Indonesia yang kaya akan sumber daya alam hanya fokus kepada ekspor komoditi melainkan beralih pada ekspor prosesing produk.
"Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen pada tahun 1990-an karena komoditi tetapi saat ini tidak bisa lagi. Saat ini teori itu tidak relevan lagi. Saat ini daya saing Indonesia hanya bisa mengandalkan SDM-nya. Ekspor komoditi tidak bisa diandalkan karena harganya sangat fluktuatif," jelas dia.
Meski demikian, untuk dapat bersaing dalam bidang SDM pun terbilang sulit. Dalam industri padat karya, Indonesia harus bersaing dengan Kamboja dan Myanmar yang dimana SDM dikedua negara tersebut jauh lebih murah. Sedangkan jika ingin bersaing dalam bidang industri, Indonesia harus bersaing dengan Jepang dan Korea Selatan. Ini jelas akan lebih sulit.
"Kita jelas kalah (dalam bidang industri) karena kita belum sampai situ. Makanya mulai dari sekarang kita harus merubah dari komoditi base ke processing base. Serta bagaimana generasi unggul kita dalam pengolahan SDA. Karena SDA kita bukan hanya tambang, tetapi perkebunan seperti CPO yang punya turunan luar biasa banyak untuk komoditi. Belum lagi karet," tandas dia. (Dny/Nrm)