Liputan6.com, New York - Argentina gagal mencapai kesepakatan untuk menghindari gagal bayar (default) kedua kali dalam waktu lebih dari 12 tahun setelah pembicaraan dengan kreditur tidak ada penyelesaian kesepakatan pada Rabu waktu setempat.
Dalam konfrensi pers, Menteri perekonomian Argentina, Axel Kicillof berulang kali menyebutkan, ketidaksepakatan dengan kreditur seperti "vultures" setelah dua hari pertemuan gagal menghasilkan penyelesaian.
Kicillof menuturkan, Argentina menawarkan bentuk penyelesaian kepada holdout seperti kreditur lain yang baru-baru ini melakukan negosiasi sebagai upaya untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari pasar modal internasional yang telah dibekukan sejak default.
Advertisement
Setelah default pada 2002, Argentina melakukan restrukturisasi utang pada 2005 dan 2010. Lebih dari 90 persen pemegang obligasi setuju untuk menerima obligasi baru dengan pembayaran berkurang. Akan tetapi holdout menolak bentuk restrukturisasi utang, dan oleh hakim AS meminta pemerintah untuk meluasi utang US$ 1,3 miliar ditambah bunga.
"Sayangnya tidak ada kesepakatan, dan Argentina akan gagal bayar dalam waktu dekat," ujar Daniel Pollack, mediator dalam kasus ini seperti dikutip dari CNBC, Kamis (31/7/2014).
Dengan keadaan tersebut membuat sejumlah konsekuensi yang diperkirakan yaitu ekonomi semakin memburuk setelah masuk resesi, mata uang Argentina melemah seiring pelaku pasar memegang dolar, dan memberikan tekanan untuk cadangan devisa. Hal ini juga dapat berdampak tehradpa harga kedelai, Argentina termasuk eksportir kedelai terbesar ketiga di dunia.
"Konsekuensi penuh dari gagal bayar tidak dapat diprediksi, akan tetapi pasti tidak positif," ujar Pollack.
Pemerintah Argentina menegaskan tidak dapat membayar sejumlah hedge fund. Sejumlah lembaga keuangan itu ingin obligasinya dibayar penuh yang telah dibeli murah setelah negara itu gagal bayar. Sejauh ini permintaan Argentina telah ditolak.
Argentina selama bertahun-tahun berjuang untuk menghadapi NML Capital sebuah unit dari Elliot Management Corp dan Aurelius Capital Management yang menolak writedown besar.
13 tahun silam, Argentina pernah mencatat beban utang besar karena perekonomian domestiknya mengalami gejala resesi dan sektor perbankannya hancur lebur. Krisis itu memuncak pada 2001 hingga akhirnya pemerintah mengumumkan default atau gagal bayar dengan total tanggungan mencapai US$ 132 miliar.
Angka tersebut adalah default terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah ekonomi dunia. Bahkan, saat itu, mata uang peso tergerus tajam terhadap dolar sehingga nyaris tidak memiliki nilai tukar layak.
Lembaga pemeringkat Amerika Serikat (AS) Standard and Poor pun menurunkan peringkat negara dan kredit mata uang asing jangke pendek menjadi "selective default" dari CCC-. Penurunan peringkat itu dipicu dari kegagalan Argentina melakukan pembayaran kupon obligasi yang jatuh tempo pada 2033. (Ahm/)