Liputan6.com, New York - Rusia tampak dengan tegas melancarkan serangan balik atas sejumlah sanksi yang dijatuhkan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) padanya.
Akibat sanksi tersebut, sejumlah pemilik restoran, rantai ritel, dan produsen makanan kini harus berebut guna memperoleh pasokan alternatif dan menghindari kekurangan pangan.
Mengutip laman Reuters, Selasa (12/8/2014), sanksi larangan impor atas sejumlah pangan AS dan Uni Eropa telah menganggu stabilitas pertanian di Barat. Pasalnya, Rusia merupakan pembeli produk pertanian Uni Eropa terbesar saat ini.
Advertisement
Meski demikian, pada saat yang sama, pemerintah Rusia juga menghantam para konsumer di negaranya sendiri. Pemerintah Rusia dapat dianggap telah mengisolasi negaranya dari perdagangan dunia ke level terparah dalam lebih dua puluh tahun terakhir.
Pengusaha keju Creamy French, pengusaha steak Australia Ribeye steak dan sejumlah restoran makanan laut juga terpaksa harus menghapus beberapa menu menyusul larangan impor untuk seluruh jenis ikan, daging dan susu.
"Harga-harga pangan akan naik dan beberapa bahan baku makanan akan menghilang," ungkap salah seorang pemilik kafe di Moskow, Alexei Paperny.
Namun dia mengaku akan melakukan upaya-upaya terbaik untuk mempertahankan bisnis restorannya. Hingga saat ini, dia masih belum bisa membayangkan bagaimana sejumlah pengusaha restoran dapat bertahan dengan lingkungan bisnis tersebut.
Dia menyesalkan keputusan pemerintah Rusia melarang impor pangan dari AS dan Uni Eropa. "Ini sanksi Rusia yang menyakiti Rusia. Akan lebih adil jika pemerintah Rusia menerima sanksi tanpa memberikan sanksi lanjutan," ujar salah seorang pemilik kafe di pusat kota. (Sis/Nrm)