Sukses

Kerugian Pertamina Terus Membengkak dari Jualan Elpiji 12 Kg

Bisnis penjualan elpiji 12 kg yang Pertamina jalani terus mengalami kerugian dari tahun ketahun.

Liputan6.com, Bintan - PT Pertamina (Persero) mengungkapkan, kerugian yang diderita perusahaan jika tidak menaikkan harga elpiji 12 kilogram (kg) pada bulan Agustus ini bisa mencapai Rp 6,1 triliun.

Operation Manager Domestic Gas Pertamina, Chairul Alfian Adin mengatakan, bisnis penjualan elpiji 12 kg yang mereka jalani terus mengalami kerugian dari tahun ke tahun.

Dalam catatan perusahaan, pada 2009 Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp 1,1 triliun. Di tahun berikutnya, nilai kerugian tersebut meningkat menjadi Rp 2,1 triliun.

Di 2011, bisnis penjualan gas 12 kg tetap mengalami kerugian sebesar Rp 3,4 triliun dan tahun 2012 kerugian yang diderita mereka sebesar Rp 4,7 triliun.

"Sedangkan untuk tahun kemarin kerugian kami mencapai Rp 5,7 triliun," jelasnya di Depot LPG Tanjung Uban, Bintan, Kepulauan Riau, Rabu (13/8/2014).

Di tahun ini, Pertamina memperkirakan nilai kerugian yang mereka derita dari bisnis elpiji 12 kg mencapai Rp 6,1 triliun.

Nilai kerugian yang diderita Pertamina tersebut karena patokan harga gas dunia terus mengalami peningkatan. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah juga menjadi beban tambahan karena selama ini mereka melakukan impor gas.

Untuk diketahui, harga patokan gas di CP Aramco pada Juni kemarin berada di posisi US$ 886,12 per metrik ton dan nilai tukar rupiah terhadap dolar di level Rp 11,733 per dolar AS.

"Jika ada kenaikan harga di agustus ini di kisaran Rp 1.000, nilai kerugiannya berkurang antara Rp 500 miliar menjadi Rp 5,6 triliun," tambah dia.

Sampai dengan Juni 2014 saja, kerugian yang diderita Pertamina dalam bisnis gas 12 kg tercatat Rp 2,85 triliun.

Oleh karena itu, Pertamina berencana menaikkan harga elpiji antara Rp 1.000 hingga Rp 1.500 di bulan ini. Saat ini rencana tersebut menunggu persetujuan pemerintah sebagai pengendali.

Sedikit menengok ke belakang, meskipun bisnis penjualan gas bersubsidi mengalami kerugian, namun jika dilihat bisnis secara total, perusahaan tersebut mengalami keuntungan yang cukup besar.

Di tahun lalu mereka mencetak laba bersih senilai US$ 3,07 miliar atau setara dengan Rp 32,05 triliun, naik sekitar 11 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2012 senilai US$ 2,77 miliar yang setara Rp 25,94 triliun. (Gdn/Nrm)

Video Terkini