Sukses

RI Merdeka 69 Tahun, Subsidi Energi Masih Jadi Polemik

Mengelola subsidi energi dan menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN menjadi tantangan pemerintahan baru.

Liputan6.com, Jakarta - Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke 69 pada 17 Agustus 2014. Momen kemerdekaan pada 2014 bertepatan dengan selesainya pemilihan legislatif dan presiden (Pilpres).

Pemerintahan baru pun akan dilantik pada 20 Oktober 2014. Tugas berat pun sudah menanti di tengah ekonomi Indonesia yang melambat. Sejumlah tantangan pun harus dihadapi oleh pemerintahan baru antara lain membenahi subsidi energi dan persiapan menjelang masyarakat ekonomi Asean pada akhir 2015.

Selama ini subsidi energi dinilai menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia. Pemerintah harus mengimpor bahan bakar minyak (BBM) mengingat konsumsi BBM pun semakin bertambah.

Dalam pidato kenegaraan pada Jumat 15 Agustus 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuturkan, anggaran belanja subsidi dalam RAPBN 2015 dialokasikan sebesar Rp 433,5 triliun.

Anggaran itu dialokasikan untuk subsidi energi sebesar Rp 363,5 triliun dan subsidi non energi sebesar Rp 70 triliun.

Sementara itu, subsidi non energi pada RAPBN 2015 naik menjadi Rp 70 triliun dibandingkan APBN-P 2014 sebesar Rp 57,2 triliun.

Dalam kesempatan itu, SBY mengatakan, sejumlah kebijakan selama ini telah dilakukan untuk meningkatkan efisiensi energi dan juga alokasi yang lebih tetap sasaran perlu dilakukan pada 2015.

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri, Destri Damayanti mengatakan, subsidi energi yang selalu menjadi biang kerok beban negara ini harus dibenahi. Salah satu cara dilakukan pemerintahan baru harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Memang langkah ini tidak populis untuk pemerintahan baru.

"Memang menaikkan harga BBM tidak menyelesaikan semua persoalan. Akan tetapi, menaikkan harga BBM dapat mendorong konversi energi terbarukan bisa terjadi dan menjadi lebih maksimal," ujar Destri, seperti yang ditulis Minggu (17/8/2014).

Ia mengakui, bila pemerintah baru dapat menaikkan harga BBM merupakan skenario terbaik meski menyakitkan. Harga BBM naik dapat memicu kenaikan inflasi sekitar 0,8 persen. Bahkan menurut Destri, harga BBM sebaiknya naik 50 persen.

"Naik 10 persen dan 50 persen ributnya sama saja. Pemerintah sebaiknya juga mempertimbangkan fixed subsidi," tutur Destri.

Selain tantangan hadapi benahi subsidi energi, Indonesia juga menghadapi masyarakat ekonomi Asean pada akhir 2015. Destri mengingatkan, sektor keuangan dan riil harus siap untuk menghadapi pasar bebas ASEAN. Bila tidak siap maka Indonesia hanya menjadi pasar potensial.

"Kita alami defisit dari Singapura dan Brunei. Kalau tidak siap di dalam  maka kita jadi market untuk mereka karena kita besar, dan kelas menengah Indonesia tumbuh besar dalam 10 tahun," ujar Destri.

Oleh karena itu, Destri mengingatkan pemerintah untuk membenahi sumber daya manusia, korupsi, dan infrastruktur. Apalagi produktivitas Indonesia masih kalah dari Vietnam.


"Daya saing juga penting termasuk untuk produk kita sendiri. Bersaing dengan ekspor yang penting daya saing dinaikkan. Birokrasi disederhanakan dan korupsi dikurangi," kata Destri. (Ahm/)