Sukses

Ratusan Buruh di Perbatasan RI-Malaysia Dirumahkan

Pemerintah diharapkan memberikan perhatian kepada masyarakat perbatasan dengan memberikan peraturan yang jelas.

Liputan6.com, Jakarta - Gara-gara perusahaan importir tak lagi beroperasi, ratusan buruh di perbatasan RI – Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, kehilangan mata pencariannya. Manajemen terpaksa merumahkan buruhnya lantaran perusahaan tak lagi beroperasi.

Menurut Direktur PT Setia Gunung Benun (SGB), Marsiana Erna, ada ratusan buruh di bawah kendali perusahaannya terpaksa dirumahkan. “Mereka adalah warga perbatasan yang menjadi buruh muat dan bongkar barang serta sopir di perusahaan,” kata dia, Minggu (17/8/2014), kepada sejumlah wartawan.

Menurut Marsiana, tindakan merumahkan buruh yang didominasi warga kampung di perbatasan ini sebagai akibat dari terhentinya aktivitas operasional PT SGB. Para buruh itu sudah tidak bekerja sejak tiga bulanan lalu.

"Sejak ada kebijakan barang tak boleh masuk ke Indonesia dari Malaysia via Entikong, aktivitas kita secara otomatis terhenti. Dan ini berdampak pada para pekerja yang sudah kehilangan pekerjaannya," urai Marsiana.

Menurut Marsiana, sejumlah upaya sudah dilakukan oleh manajemen PT SGB termasuk dengan mendatangi Kantor Bea Cukai  (BC) di Entikong.

"Kami sudah tanyakan barang apa saja yang boleh dan tidak boleh diimpor. Dari situ baru kami ajukan dokumen. Namun pihak BC tidak merespon. Akhirnya kami tak bisa berbuat apa-apa," kata Marsiana.

Dia berharap, semua pihak dapat bersinergi untuk mencari solusi agar perusahaan importir dapat segera beroperasi. Selanjutnya, perusahaan juga dapat kembali mempekerjakan buruhnya yang sudah menganggur berbulan-bulan.

Kondisi ini mengundang perhatian tokoh masyarakat Entikong HR Thalib (66 tahun). Menurut Thalib, semua ini berkaitan dengan regulasi yang ada. Border Trade Agreement Malaysia – Indonesia adalah produk tahun 1970 dan tidak ada perubahan. Masyarakat perbatasan diberi kebebasan berbelanja kebutuhan pokok RM600 di Malaysia.

Dijelaskan, regulasi lainnya terkait dengan Permendag No 61 tahun 2013 tentang ketentuan impor barang tertentu. "Saya sudah katakan ke Presiden SBY kalau Entikong sangat layak jadi pelabuhan darat ekspor impor. Dan saya dukung itu," tegas Thalib.

Tapi sampai hari ini, kata Thalib, sudah menjelang akhir jabatannya belum juga ada realisasi apa-apa dari regulasi itu. Akibatnya, muncul masalah seperti dialami perusahaan importir yang ada. Masyarakat perbatasan kembali jadi korban karena perusahaan tak lagi beroperasi. "Padahal, di sini lapangan kerja sangat sulit. Masyarakat kita hanya bisa cari uang di border sana," kata Thalib.

Dia minta pemerintah, khususnya presiden agar lebih peduli terhadap kondisi masyarakat di perbatasan dengan memberikan regulasi yang jelas. "Saya juga heran wakil rakyat kita di parlemen itu kerja apa saja. Kenapa mereka tidak peduli dengan warga di perbatasan," ucapnya.

Sementara tokoh masyarakat Entikong lainnya, Paul Silalahi mengaku heran dengan kebijakan yang menyebabkan ratusan buruh Entikong itu kehilangan pekerjaannya.

"Pemerintah kita itu maunya apa? Dari dulu barang itu boleh saja masuk ke Entikong. Sekarang kok tiba-tiba dilarang. Kasihan kan masyarakat kita yang menggantungkan hidupnya sebagai buruh," kata Paul.

Menurut Paul, buruh yang bekerja di perusahaan importir adalah warga kampung. Mereka adalah warga perbatasan yang menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya. Namun, sejak perusahaan tak boleh memasukkan barang, akhirnya mereka menganggur.

"Di antara buruh itu, ada yang kreditnya terpaksa macet di tengah jalan karena penghasilannya juga macet. Kasihan mereka, padahal mereka juga warga negara Indonesia yang punya hak hidup," ujar Paul.

Paul minta pemerintah segera mengambil kebijakan pro masyarakat perbatasan. "Saya minta pemerintah mengambil kebijakan yang adil buat masyarakat di perbatasan. Tunjukkan kalau pemerintah itu peduli sama rakyatnya di perbatasan. Jangan sampai nasionalisme mereka pudar gara-gara tak diberi ruang untuk hidup," pungkasnya. (Raden AMP/Ahm)