Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Antrean panjang terlihat di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di sejumlah wilayah di Tanah Air.
Kelangkaan BBM subsidi merupakan imbas dari kebijakan pengendalian (pengkitiran) BBM subsidi yang dilakukan Pertamina sejak 18 Agustus 2014.
Baca Juga
Lalu apa yang menyebabkan Pertamina nekad mengambil kebijakan itu?
Advertisement
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya menjelaskan, pemerintah dan DPR telah memangkas volume BBM subsidi di Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 sebesar 2 juta kiloliter (kl) menjadi 46 juta kl.
Kemudian Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengirimkan surat ke Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pertamina perihal volume BBM subsidi. Dalam surat tertanggal 27 Juni 2014 itu disebutkan volume BBM subsidi tidak boleh melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN-P 2014 sehingga dibutuhkan suatu langkah pengendalian.
Berdasarkan surat tersebut, lanjut Hanung, beberapa rapat dilakukan di Kementerian ESDM yang juga dihadiri Pertamina. Dalam rapat itu diambil kesimpulan BBM subsidi perlu dikendalikan. Pasalnya jika tidak maka tidak akan mencukupi hingga akhir tahun.
"Diprediksi solar habis pada akhir November, sedangkan premium Desember," tutur Hanung dalam keterangan pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (27/8/2014).
Lalu beredarlah surat Kepala BPH Migas yang mengintruksikan badan usaha yang mendistribusikan BBM subsidi agar melakukan lima hal yaitu penerapan batas waktu pengoperasian SPBU di klaster tertentu, penghentian penyaluran premium di SPBU di jalan tol, penghapusan solar di Jakarta Pusat, pemangkasan jatah solar untuk nelayan sebesar 20 persen, dan meminta Pertamina mengoptimalkan pemasaran BBM non pso.
"Setelah berjalan, Pertamina mengambil kesimpulan kebijakan yang diambil BPH Migas termasuk penghentian penjualan BBM subsidi di jalan tol tidak efektif mengurangi konsumsi BBM.
"Itu tidak efektif karena 700 kl premium yang hilang dari jalan tol, tapi di luar jalan tol konsumsi premium bertambah 700 kl," papar dia.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pertamina menyimpulkan kebijakan yang dijalankan terkait surat edaran Kepala BPH Miga stidak mampu menurunkan konsumsi BBM subsidi. Sementara di sisi lain, Pertamina menanggung risiko akan menanggung pembengkakkan dana subsidi BBM jika tidak melakukan apapun.
"Kalau over kuota maka risiko ada di Pertamina, kemungkinan subsidinya tidak akan dibayar pemerintah," tuturnya.
Tak hanya itu, kebijakan yang dibuat pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 juga tidak berhasil memangkas konsumsi BBM subsidi secara signifikan, salah satunya kebijakan larangan kendaraan dinas kementerian, BUMN, BUMND dan sektor perkebunan. Padahal jika kebijakan itu berjalan, konsumsi premium dan solar bisa dipangkas masing-masing 500 ribu kl per tahun.
"Saat itu dikeluarkan stiker, sampai hari ini saya tidak lihat lagi stiker itu, sehingga operaror SPBU tidak punya pegangan, ini mobil dinas apa swasta sehingga tidak berjalan," ungkap Hanung.
Untuk itu harus dibuat kebijakan tambahan supaya kuota BBM subsidi mencukupi hingga Desember 2014. Untuk itu, Pertamina memutuskan untuk melakukan pengkitiran penyaluran BBM subsidi mulai 18 Agustus. Kuota premoum dipangkas 4 persen-5 persen per hari dan solar 15 persen-20 persen.
"Kami mulai melakukan pengkitiran pada 18 Agustus. Untuk SPBU luar kota dampaknya mulai terlihat tanggal 20 agustus," jelasnya. (Pew/Ndw)