Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini merupakan imbas kebijakan bank sentral dari tiga negara yaitu Amerika serikat (AS), Eropa, Jepang dan China yang dilakukan demi mempertahanan perekonomian di negara masing-masing.
Menurut Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, pelemahan nilai tukar mata uang ini merupakan gejala global sebagai imbas keputusan Bank Sentral AS atau The Fed mengurangi likuiditas global melalui pengurangan sampai pada akhirnya tercapainya program penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai Quantitative Easing (QE) III.
"Selain aspek-aspek dalam negeri, dua tekanan yang berlawanan arah dipastikan akan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan baik dalam jangka pendek dan menengah terhadap nilai tukar rupiah," kata Firmanzah dilansir dari laman Setkab.go.id, Senin (22/9/2014).
Kedua tekanan itu adalah keputusan The Fed meneruskan quantitative easing III, dan upaya Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China untuk mempertahankan dan bahkan menambah likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan tersebut.
“Inilah faktor utama yang menyebabkan pelemahan nilai tukar mata uang di hampir mayoritas emerging-market,” papar Firmanzah.
Ia menjelaskan, keputusan The Federal Open Market Committee (FOMC) terkait dengan tahapan pengakhiran QE-III dan pengakhiran suku bunga murah telah mendorong sentimen penguatan mata uang dolar AS terhadap mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah.
Di sisi lain, lanjut Firmanzah, ekonomi-ekonomi besar seperti Eropa, China dan Jepang justru mengalami persoalan likuiditas yang mendorong kebijakan menempuh Quantititve Easing. Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan memberikan pinjaman murah kepada industri perbankan di kawasan Euro dengan nilai sebesar 400 miliar euro.
Baca Juga
Sedangkan Bank Sentral China mengeluarkan stimulus sebesar US$ 81 miliar pada lima bank BUMN terbesar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi China. Sementara itu, Bank of Japan akan mempertahankan stimulus ekonominya untuk menghindari tekanan deflasi yang lebih dalam.
“Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa prospek perekonomian di ketiga wilayah tersebut masih memerlukan waktu untuk mencapai target-target pemulihan ekonomi seperti yang diharapkan,” ujar Firmanzah.
Tidak mengherankan jika setidaknya hampir seluruh mata uang di Asia melemah terhadap dolar pada sesi perdagangan minggu ketiga September 2014.
Advertisement
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menyebutkan, negara-negara yang mengalami pelemahan nilai tukar itu di antaranya Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan dan juga Indonesia. (Ndw)