Liputan6.com, New York - Meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim di beberapa negara serta serangkaian bencana yang mungkin terjadi dapat merugikan perekonomian dunia hingga US$ 421 miliar atau setara RP 4.927 triliun pada 2.030. Peringatan itu diungkapkan Palang Merah Internasional dan Komisi Eropa setelah melihat betapa parahnya perubahan cuaca di berbagai negara.
"Berbagai bencana merenggut nyawa sejumlah korban dan mengacaukan prospek pertumbuhan ekonomi dunia, membuat situasi semakin buruk," ungkap Anggota Komisi Eropa untuk nternational Cooperation, Humanitarian Aid and Crisis Response Kristalina Georgieva dalam pernyataan tertulisnya seperti dikutip dari laman CNBC, Kamis (25/9/2014).
Baca Juga
Peringatan itu muncul seiring kerjasama antara lembaga Palang Merah dan Komisi Eropa untuk menyebarkan kampanye akan pentingnya mempersiapkan diri menghadapi berbagai bencana.
Advertisement
Dalam 20 tahun tearkhir, dampak cuaca ekstrim telah dirasakan 4,4 miliar penduduk di seluruh dunia, menewaskan 1,3 juta jiwa dan menyebabkan kerugian ekonomi hingga 1,5 triliun euro.
Tahun ini, beberapa negara Eropa memang menderita banjir parah. Pada Mei, beberapa wilayah di Bosnia, Herzegovina dan Serbia diserang banjir dan membuat ribuan perubahan di kedua negara itu.
Kerusakan dan kerugian yang harus ditanggung mencapai 2 miliar euro di Bosnia dan 1,5 miliar euro di Serbia.
Awal tahun ini, banjir parah juga menghantam sekitar 6.000 rumah di Inggris. Banjir di Inggris bahkan masih terjadi hingga Februari.
Pekan lalu, laporan dari Komisi Global di bidang Economy and Climate menyimpulkan bahwa berbagai bantuan yang dikeluarkan untuk menangani bencana perlu mengorbankan perekonomian dunia.
Pimpinan Komsisi Eropa untuk bidang iklim Felipe Calderon mengatakan, permintaan energi di seluruh dunia juga akan tumbuh sebanyak sepertiga dari angka saat ini pada 2030. Selama 16 tahun, sekitar US$ 90 triliun perlu diinvestasikan di bidang infrastruktur yang berkaitan dengan pembangunan kota, pemanfaatan lahan dan sistem pembangkit energi.
"Kami tak mengatakan adanya penurunan pertumbuhan ekonomi karena kebutuhan energi, tapi karena emisi karbon yang dikeluarkan," tandas Calderon. (Sis/Ndw)