Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2014 mengalami defisit sebesar US$ 318,1 juta. Di mana, nilai ekspor mencapai US$ 14,48 miliar dan impor US$ 14,79 miliar.
Meski ekspor dan impor di bulan Agustus tercatat naik, namun kenaikan impor jauh lebih tinggi dalam ketimbang ekspor sehingga defisit nilai perdagangan terjadi.
Sebelumnya pada Juli, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$ 123,7 juta. Sedangkan neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-Agustus 2014 tercatat defisit US$ 1,4 miliar.
"Ini adalah defisit yang keempat sejak Januari ini yaitu Januari, April, Juni dan sekarang. Sepanjang tahun ini sektor non migas defisit, padahal biasanya selalu surplus," terang Kepala BPS Suryamin, Senin (1/9/2014).
Suryamin menjelaskan, defisit neraca perdagangan pada Agustus 2014 terjadi karena adanya defisit hasil minyak US$ 1,79 miliar dan minyak mentah US$ 314,6 juta. Sementara untuk komoditas gas mencatat surplus US$ 1,31 miliar dan non migas surplus US$ 483 juta.
"Defisit migas secara akumulasi US$ 8,59 miliar, berasal dari minyak mentah US$ 3,31 miliar, hasil minyak US$ 15,34 miliar dan gas surplus US$ 10,05 miliar serta non migas surplus US$ 7,1 miliar," papar dia.
Sebelumnya, ekonom memproyeksikan neraca perdagangan Indonesia pada Agustus tahun ini akan mengalami defisit. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan nilai impor ketimbang ekspor.
Advertisement
Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih justru memperkirakan neraca perdagangan Indonesia akan mengecap defisit tipis sekitar US$ 62,5 juta di Agustus 2014.
"Impor BBM di Agustus lalu masih tinggi karena banyak orang mudik sehingga memberi sumbangan ke peningkatan nilai impor 6,39 persen secara year on year," katanya.
Sayang, tingginya impor belum mampu tertutup dari perbaikan ekspor. Ekspor Indonesia pada bulan ke delapan ini, Lana bilang, menanjak 5,33 persen secara year on year.
"Ekspor ditopang dari kenaikan harga batu bara di Agustus 2014 sehingga mampu mengkompensasi penurunan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO)," tandas dia. (Fik/Ndw)