Sukses

Transportasi Publik Tak Memadai, Kuota BBM Tetap Jebol

Pengamat Ekonomi, Lana Soelistianingsih mengatakan, selama transportasi publik kurang memadai konsumsi BBM tetap jebol.

Liputan6.com, Jakarta - Rencana harga bahan bakar minyak (BBM)/BBM bersubsidi naik bukan momok bagi masyarakat. Namun kebijakan tersebut juga tidak bisa menjamin pengurangan konsumsi BBM maupun peralihan dari  kendaraan pribadi ke transportasi publik.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih mengungkapkan, kenaikan harga BBM subsidi pasti akan mengerek inflasi lebih tinggi, namun tidak  menurunkan konsumsi BBM.

"Inflasi pasti naik, tapi konsumsi BBM nggak bisa turun begitu saja. Tetap akan melewati patokan volume BBM subsidi 46 juta kiloliter (kl)," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (5/10/2014).

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015, pemerintah dan DPR memproyeksikan kuota BBM subsidi sebanyak 46 juta Kl. Namun karena dasar untuk pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, parlemen tidak mengunci  volume BBM subsidi tersebut. Dengan begitu, pemerintah baru dapat mengubah asumsi kuota BBM subsidi dalam APBN Perubahan 2015.

Jika harga BBM subsidi naik sebesar Rp 3.000 per liter di awal November 2014, tambah Lana, belum tentu masyarakat begitu saja mengurangi konsumsi BBM.

"Orang tetap akan mengonsumsi BBM subsidi meskipun harganya naik karena itu lebih baik ketimbang naik angkutan umum tapi dia nggak merasa nyaman. Enakan bawa mobil atau motor sendiri," kata dia.

Dirinya menilai, masyarakat lebih tertarik menggunakan kendaraan pribadi selama  transportasi publik di Indonesia masih dalam kondisi kurang memadai.

"Makanya penghematan dari kenaikan harga BBM subsidi dialihkan untuk memperbaiki kualitas dan layanan transportasi massal. Sehingga ada daya pikat orang untuk beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum," harap Lana. (Fik/Ahm)