Sukses

Pengamat: Kredit Macet Bisa Kena Pidana di Kasus Bioremediasi

Pemerintah diminta turun tangan karena ini bukan sekedar kasus hukum tapi persoalan kepastian dan kejelasan hukum dalam negara.

Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan tuntutan jaksa terkait kasus korupsi dalam proyek bioremediasi Chevron masih mengundang reaksi pendapat berbagai kalangan.

Pemerhati hukum kontrak PSC, Najib Ali Gisymar menilkai putusan MA di tingkat kasasi untuk Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) dan Herland Bin Ompo, Direktur PT Sumi Gita Jaya (SGJ) yang merupakan rekanan Chevron, bakal jadi yurisprudensi baru yang berbahaya.

“Apabila putusan MA ini dibiarkan menjadi yurisprudensi baru maka akan terjadi kekacauan luar biasa dalam penerapan hukum di Indonesia. Siapapun yang melakukan tindakan-tindakan yang meskipun diatur jelas oleh undang-undang tertentu namun jika tindakannya dianggap berpotensi merugikan negara, maka dapat dipidana korupsi, misalnya kredit macet di bank BUMN atau BUMD pun bisa dipidana korupsi. Bahkan orang yang telat bayar tagihan hutang ke bank pemerintah bisa diancam pidana korupsi karena tindakan itu dianggap bisa berpotensi merugikan negara,” jelas Najib di Jakarta, Senin (6/10/2014).

Menurut dia, jika tidak ada upaya hukum lainnya seperti Peninjauan Kembali (PK) maka kasus lain seperti pencurian uang di ATM bank milik pemerintah, pencurian motor, bak sampah milik Pemkot bisa masuk kategori tindak pidana korupsi dan bukan kriminal murni semata.

Dia pun meminta pemerintah dinilai harus turun tangan karena ini bukan sekedar kasus hukum tapi persoalan kepastian dan kejelasan hukum dalam sebuah negara.

Najib menyatakan bahwa kedua kontraktor Chevron ini hanyalah berkontrak secara perdata dengan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan tidak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah.

Dia menilai keduanya tidak bisa dituduh berbuat kriminal apalagi korupsi sementara CPI tidak pernah mengeluh atas kinerja kedua kontraktornya tersebut.

“Urusan kontrak keduanya dengan CPI baik-baik saja, kok malah orang lain yang ribut. Ini tidak sejalan dengan prinsip yang diatur hukum perdata,” tegas Najib.

Menurut Najib dirinya sangat sependapat dengan dissenting opinion Hakim Agung Leopold dalam kasus Ricksy yang menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara proyek bioremediasi ini.

“Selain itu, sesuai fakta sidang Edison Effendi sebagai ahli pun sangat patut diduga memiliki konflik kepentingan karena dia saksi fakta dan sekaligus saksi ahli, plus pihak yang pernah kalah tender,” lanjutnya.

Pakar hukum lingkungan Linda Yanti Sulistiawati, menilai bahwa UU lingkungan mestinya yang dipakai untuk mendakwa karena subyek yang didakwakan terkait peraturan di bidang lingkungan.

“Dakwaan terhadap keduanya dalam kasus ini terkait izin pengolahan limbah dan teknis pengerjaan bioremediasi serta dipakainya hasil pengujian atas sampel tanah yang dilakukan oleh jaksa yang semuanya terkait dengan peraturan dan undang-undang di bidang lingkungan. Jadi semestinya kasus ini diselesaikan dengan hukum yang diatur dalam UU Lingkungan tersebut,” ujarnya.

Jika sebuah tindakan dianggap melanggar suatu Undang-Undang apalagi yang bersifat khusus seperti UU Lingkungan, maka penegak hukum semestinya secara konsisten menggunakan UU tersebut untuk mengadili perkara yang dimaksud.

Apabila kemudian perkara tersebut memiliki keterkaitan dengan UU lain maka menurut Linda, perlu dipastikan juga apakah UU lain tadi memang menjadi dominan untuk mengadilinya.

“Jika penegak hukum berkesimpulan bahwa proyek bioremediasi tidak perlu dilakukan sehingga dianggap “proyek fiktif” atas dalih telah melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup soal teknik bioremediasi dan Peraturan Pemerintah di bidang lingkungan terkait izin pengolahan limbah. Maka mengingat kedua aturan itu berada di wilayah UU Lingkungan maka semestinya UU lingkungan yang dipakai,” tandas dia. (Nrm)