Liputan6.com, Bogor - Produk fashion dari kulit hewan seakan tak pernah ada matinya, dan terus mampu bertahan meski tren mode busana terus berkembang. Hal ini yang berhasil dimanfaatkan pria bernama Sutarmanto.
Kecintaan dan pengetahuannya akan produk-produk kulit, berawal ketika dia bekerja sebagai manager PPIC pada perusahaan jaket kulit milik asing.
Perusahaan yang berlokasi di Tangerang tersebut dulunya merupakan penyuplai produk fashion untuk merk ternama seperti Pierre Cardin, Tommy Hilfiger, Burton, Harley Davidson dan lain-lain.
Namun sayang, akibat kondisi ekonomi Indonesia yang tidak stabil pada 1997 perusahaan tersebut memutuskan untuk merelokasi pabriknya ke China. Dengan terpaksa, para pekerjanya pun ikut diberhentikan termasuk Sutarmanto.
Karena tak lagi memiliki pekerjaan tetap, Sutarmanto mulai bisnisnya sendiri. Sebelum terjun ke Dia sempat membuka bisnis donat tetapi tak mampu bertahan lama.
"Setelah berhenti kerja, saya sempat jualan donat yang saat itu sedang booming. Saya jual ke sekolah-sekolah. Tetapi kemudian 2-3 tahun menurun penjualannya karena sudah banyak yang bikin sampai akhirnya tidak laku," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Bogor, Jawa Barat.
Awal mula usaha
Advertisement
Pertengahan 2000, dengan modal awal sekitar Rp 24 juta yang diambil dari dana pensiunnya dan pengalaman selama bekerja di pabrik produk fashion kulit, Sutarmanto mulai bisnis produk kulit. Dengan memproduksi jaket dan celana kulit.
Tak ingin memulainya seorang diri, Sutarmanto juga mengajak rekan-rekannya yang dulu sama-sama bekerja di pabrik produk kulit.
"Saya menghubungi teman-teman yang dulu sama-sama kerja di pabrik itu dan sedang menganggur. Kita mencoba membuat produk jaket kulit yang kualitasnya sama dengan standar pabrik untuk ekspor," kata dia.
Dia mengajak semua temannya yang memang memiliki keahlian khusus dalam memproduksi jaket dan celana kulit seperti tukang pola, tukang potong, penjahit dan lain-lain.
Setelah berhasil membuat contoh produk, jaket dan celana kulitnya pun dia pajang disebuah ruko kecil dengan ukuran 2x5 meter. Dari tempat itulah banyak orang yang mulai tertarik dan memesan produknya.
Tuai Sukses
Sutarmanto kemudian resmi menggunakan merk 'Kalong' pada produk-produk yang dibuatnya. Hal ini bukan lantaran dia menggunakan kulit kalong sebagai bahan baku, melainkan ketika awal membuka bisnisnya, para penjahit biasa bekerja hingga larut malam sehingga disebut seperti kalong yang biasa beraktivitas pada malam hari.
Setelah sukses dengan jaket dan celana kulit, Sutarmanto mulai membuat jenis produk fashion lain sesuai dengan permintaan dari para pelanggan seperti sepatu, dompet, tas, ikat pinggang, sarung tangan, topi dan lain-lain.
Untuk kisaran harga, sepatu mulai Rp 400 ribu-Rp 500 ribu, jaket Rp 650 ribu-Rp 3 juta, sarung tangan Rp 100 ribu-Rp 250 ribu, dompet Rp 200 ribu-Rp 500 ribu, topi Rp 100 ribu-Rp 250 ribu, ikat pinggang Rp 350 ribu-Rp 600 ribu, tas wanita Rp 700 ribu-Rp 4 juta dan tas pria Rp 1,5 juta-Rp 3 juta.
Untuk bahan baku, Sutarmanto banyak menggunakan kulit kambing, sapi dan domba. Kulit-kulit tersebut dia samak atau dititipkan untuk dimasak ke pabrik besar sesuai dengan standar yang diinginkan. Dia juga memiliki suplier kulit dari daerah Bandung, Jawa Barat.
Selain dari lokal, kulit-kulit tersebut juga sebagian kecil dia impor dari negara lain seperti Korea Selatan dan Italia. Setidaknya per bulan Sutarmanto membutuhkan 1.000 lembar kulit.
Dari sisi penjualan, rata-rata tiap outlet bisa menjual 200 item produk per bulan dan jaket kulit tetap menjadi produk yang paling banyak dicari. Pelanggannya pun banyak berasal dari daerah Bogor, Jakarta, beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatera.
"Biasanya mereka datang langsung. Kalau melihat website kami hanya ingin tahu keberadaan tempatnya. Kalangannya dari semua usia. Kalau remaja suka yang model fashion, kalau pekerja kantor biasanya yang model proteksi berkendara, kalau staf pemerintahan biasanya yang semi jas," jelasnya.
Meski tak pernah sepi pelanggan, namun menurut Sutarmanto, ada momen-momen tertentu yang biasanya banyak orang yang membeli produk kulit, khususnya jaket kulit yaitu jelang lebaran dan liburan. Hal ini karena pada kedua moment tersebut banyak orang butuh jaket untuk berkendara jarak jauh.
Dari segi kualitas, Sutarmanto berani membandingkan dengan produk kulit sejenis. Dengan harga yang relatif tidak murah, dia berani menjamin bahwa para pelanggan akan lebih puas ketimbang membeli produk lain yang harganya jauh lebih murah.
"Meski semua Kulit semua bahannya hampir sama tetapi ada yang memasaknya sudah bagus dan ada yang standar lokal biasanya mengejar harga murah. Kalau yang murah biasanya dipakai sebulan saja sudah kusut atau menyusut dan bau. Kalau produk kami jaminan tidak bau, tidak luntur, tidak mudah menyusut," ungkapnya.
Sutarmanto mengaku tidak mengalami banyak kendala dalam menjalankan bisnisnya ini. Untuk bahan baku, selalu mendapatkan suplai yang cukup untuk memenuhi target produksi. Kendala terbesar hanya mencari tenaga kerja penjahit yang menguasai bahan kulit.
Saat ini, dia sudah memiliki tiga outlet yang semuanya berlokasi di Bogor, Jawa Barat, dengan 15 orang karyawan. Tahun depan rencananya Sutarmanto akan membuka outlet baru karena melihat bisnis produk kulit semacam ini akan terus berkembang kedepannya.
"Kelihatanya akan bagus sebab pengendara motor makin banyak, dan orang semakin tahu kalau pakai jaket kulit asli lebih awet bisa sampai 20 tahun. Kalau yang sintetis paling 1 tahun," kata dia.
Kedepannya Sutarmanto berharap bisnis yang digelutinnya lebih dari 13 tahun ini bisa terus berkembang dan semakin dikenal orang lain.
Selain itu, dia juga ingin agar produk-produk kulitnya tidak hanya disukai oleh masyarakat lokal tetapi juga di ekspor ke negara lain.
"Memang ada rencana untuk ekspor tetapi itu oleh pihak ketiga. Sementara fokus pasar lokal saja," tandas dia. (Dny/Nrm)