Liputan6.com, Jakarta - Jika tidak mampu mengolah sumber daya alam dan lahan pertanian dengan baik, Indonesia diperkirakan harus melakukan impor pangan dalam jumlah yang besar 5 tahun ke depan.
Direktur Utama PT Rajawali Indonesia (RNI), Ismed Hasan Putro mengatakan, jika produksi pangan nasional tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat, maka pada 2020 Indonesia diperkirakan harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun.
"Pada 2020 impor bahan kebutuhan pangan semakin besar, seperti beras daging, terigu, bahkan hingga ikan asin dan jengkol. Nilainya bisa mencapai Rp 1.500 triliun. Ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sementara lahan pertanian kita menyusut," ujarnya di Kantor RNI, Mega Kuningan, Jakarta, Minggu (12/10/2014).
Dia mencontohkan, lahan pertanian untuk padi di wilayah Sumatera Selatan banyak yang telah beralih fungsi sebagai lahan perkebunan sawit. Hal ini tidak sejalan dengan program kedaulatan pangan yang digagas oleh Joko Widodo.
"Kalau kita berdaulat di padi, kita akan terus melakukan impor dari Vietnam. Kita sekarang masih mengantungkan gandum dari Amerika Serikat. Kalau ini diboikot bagaimana? Kedelai juga masih harus impor, bahkan jengkol juga masih impor dari Malaysia," jelasnya.
Untuk itu menurut Ismed, Indonesia butuh lebih banyak perusahaan yang bergerak dalam industri pada sektor pangan. Hal ini untuk menopang dan mensubstitusi petani yang beralih profesi.
"Kita tetap fokus ke bisnis pangan. Indonesia butuh korporasi yang bergerak industrialisasi pangan. Ini tidak bisa lagi diserahkan kepada petani. Mereka masih konservatif dan banyak yang beralih profesi. BUMN harus bergerak ke sini," tandasnya. (Dny/Gdn)
Tak Mampu Mandiri, RI Harus Impor Pangan Senilai Rp 1.500 Triliun
Jika produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, maka pada 2020 Indonesia diperkirakan harus mengimpor pangan Rp 1.500 Triliun.
Advertisement