Sukses

Industri Rokok Berhak Berpromosi, MK: Ini Bukan Barang Ilegal

Rokok dan tembakau adalah bukan produk ilegal karena itu sah bila produk ini dipromosikan dengan menampilkan wujudnya.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata menolak permohonan enam perseorangan warga negara dalam pengujian aturan larangan iklan niaga yang memperagakan wujud rokok dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).  Putusan tersebut dibacakan Ketua MK, Hamdan Zoelva, pada sidang pengucapan putusan, Kamis 9/10), pekan lalu.

Di mata para hakim MK menyatakan, rokok dan tembakau adalah bukan produk ilegal. Karena itu sah bila produk ini dipromosikan dengan menampilkan wujudnya.

Selain itu, meski rokok dan tembakau mengandung zat adiktif namun berlebihan bila menyandingkan rokok sama dengan narkotika.

Dalam perkara bernomor 71/PUU-XI/2014 ini, para Pemohon tersebut menguji ketentuan dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang mengenai frasa "yang memperagakan wujud rokok"yang berada dalam norma larangan siaran iklan niaga melakukan "promosi rokok yang memperagakan wujud rokok."

Menanggapi putusan MK, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis menilai sebenarnya pertimbangan MK dalam Putusan No.71/PUU-XI/2014 sebagian besar hanya mengutip kembali putusan-putusan terdahulu, yaitu putusan-putusan yang berkaitan dengan judicial review peraturan tentang tembakau dan rokok.  

Kata Margarito, keputusan MK sudah tepat. Inti pertimbangan MK yang paling mendasar adalah sepanjang rokok masih dikategorikan barang legal, dan tidak ada satu pun undang-undang yang melarang untuk diperjual-belikan. Karena itu pula, iklan rokok dan promosi rokok adalah konstitusional.  

Dengan demikian, “Industri rokok berhak mempromosikan produknya, baik dalam bentuk iklan ataupun bentuk lainnya. Dan iklan ini harus dilindungi oleh undang-undang," terang Margarito di Jakarta, Senin (13/10/2014).

Dalam putusannya yang terdahulu maupun sekarang, MK telah menegaskan, memang rokok dan tembakau mengandung zat adiktif, akan tetapi kandungannya tidak sama bahkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan narkotika. Dengan demikian, rokok adalah sebagai bahan yang masih dapat dikonsumsi dengan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh undang-undang.

"Jadi, sebenarnya tidak ada hal baru dalam putusan tersebut, pertimbangan MK lebih banyak mengarah kepada putusan-putusan terdahulu," ucapnya.

Dalam putusan MK yang dibacakan pekan lalu itu, MK kembali mengutip pertimbangan hukum Putusan Nomor 19/PUU-VIII/2010 bertanggal 1 November 2011.

Dalam putusan itu, MK telah berpendapat bahwa dalam mencermati Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran, termasuk perundang-undangan lainnya, tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan, terlebih lagi tidak ada larangan untuk diperjualbelikan.

Di putusan itu, MK juga menegaskan, tidak pernah menempatkan tembakau dan cengkeh sebagai produk pertanian yang dilarang, sehingga rokok adalah produk yang legal, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok dan tembakau. Pendapat itu juga tercantum dalam Putusan MK Nomor 54/PUU-VI/2008 dan 6/PUU-VII/2009.

Menurut Mahkamah, walaupun rokok mengandung zat adiktif, tetapi tetap merupakan produk legal yang dapat diiklankan dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang frasa "yang memperagakan wujud rokok" UU Penyiaran tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Sebelumnya, enam orang warga negara yang diadvokasi oleh Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA INDONESIA) mangajukan pengujian Pasal 46 ayat (3) huruf c.

Para Pemohon mendalilkan, ketentuan tersebut menyebabkan produsen bahan adiktif (termasuk rokok) dengan leluasa dapat mengiklankan dan mempromosikan produknya dengan berbagai macam cara dan metode.

Promosi dan iklan ini mereka tuding sebagai penyebab meningkatnya konsumsi rokok di kalangan masyarakat secara umum, terutama anak-anak dan mahasiswa sebagai calon perokok pemula.(Dny/Nrm)