Sukses

Jokowi Diminta Tumbuhkan Industri Roti Berbahan Baku Ubi

Industri roti lokal hingga saat ini masih ketergantungan pada bahan baku gandum impor.

Liputan6.com, Jakarta - Industri roti lokal hingga saat ini masih ketergantungan pada bahan baku gandum impor. Bahkan kebutuhan gandum untuk diolah menjadi tepung terigu seluruhnya berasal dari impor, yaitu sebesar 6,2 juta ton per tahun.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bakery indonesia Chris Hardijaya mengatakan, untuk mengatasi hal ini pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk mendorong industri untuk menggunakan bahan baku lokal seperti ubi dan labu sebagai bahan baku pembuat roti.

"Pada 2015, kita akan dorong pemakaian pangan lokal dan Pak Jokowi mengatakan akan konsen karena sesuai dengan program beliau untuk menonjolkan ubi dan labu yang jumlahnya banyak tapi tidak terekspor dengan baik, tapi nutrisinya luar biasa," ujarnya di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2014).

Menurutnya, jika program ini dapat dibudayakan dengan baik, dampaknya bukan hanya akan mengurangi ketergantungan impor gandum tetapi  petani ubi dan labu akan mendapatkan manfaat yang lebih baik.

"Dengan ini nilai plusnya banyak, karena produk turunannya juga banyak. Jadi saya minta pemerintah untuk pelopori ini, kami hanya sebagai penekan supaya para pengusaha tertarik. Kalau tidak, siapa yang mau promosikan ini," lanjutnya.

Dia mengungkapkan, banyak kelebihan produk roti yang terbuat dari ubi dibandingkan dengan hanya menggunakan tepung terigu.

"Kalau membuat dari ubi tetap harus dicampur tepung terigu. Tetapi keunggulannya, nutrisiya sudah tinggi sehingga tidak perlu tambahan vitamin dan juga teksturnya lebih lembut. Dampaknya ke petani juga lebih baik dan pangan lokal naik. Ini bisa mendiversifikasi gandum," kata dia.

Namun demikian, Chris mengakui, para pengusaha masih menemui banyak kendala untuk mengaplikasikan program ini, salah satunya karena harga jual ubi ke industri yang mahal. Saat ini, harga jual ubi di pasaran sebesar Rp 6.000 per kilogram (kg) sedangkan harga yang ideal dan mampu dibeli oleh industri harus di bawah Rp 2.000 per kg.

"Sekarang harganya mahal karena penggarapannya masih manual harus dipacul dan lain-lain. Kemudian setelah dipanen harus melewati ke beberapa tangan sebelum sampai ke industri. Selain itu, pasokan ubi juga belum konsisten, beda dengan singkong yang industri pengolahannya sudah maju. Jadi ini tantang supaya konsisten, harga terjangkau dan suplai stabil," jelasnya.

Selain itu, masalah pembibitan ubi yang dinilai masih belum dikerjakan dengan baik petani karena kebanyakan masih menggunakan konsep tradisional. Hal ini membuat produksi ubi semakin menurun karena para petani hanya menanam ubi pada lahan yang sama sehingga unsur haranya semakin berkurang dan membuat kualitas ubi semakin menurun.

"Bibit yang dipakai juga turunannya dari tanaman yang ada, jadi produksi turun. Tapi Ketika panen raya harganya anjlok. Padahal ubi ini bisa panen sepanjang tahun," tandasnya. (Dny/Ndw)