Liputan6.com, Jakarta - Indonesian Petroleum Association (IPA) prihatin atas putusan Mahkamah Agung terhadap Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), terkait peranannya dalam program bioremediasi Chevron.
Direktur Eksekutive IPA Dipnala Tamzil mengatakan, memutuskan yang bersangkutan bersalah dan menghukumnya dengan empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta merupakan perkembangan yang sangat memprihatinkan bagi industri minyak dan gas (migas) serta bertentangan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan sesuai ketentuan Production Sharing Contract (PSC).
"IPA sangat prihatin atas proses hukum yang sedang berjalan yang telah menimbulkan penderitaan bagi karyawan CPI, Bachtiar Abdul Fatah, Endah Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari dan Widodo serta dua kontraktor CPI, Ricksy Prematuri dan Herland Bin Ompo," Dipnala di Jakarta, Senin (27/10/2014).
Ia menambahkan, seperti anggota IPA lainnya yang mempunyai wilayah kerja di kegiatan Hulu Migas, CPI beroperasi di bawah PSC, suatu perjanjian hukum yang mengikat dengan Pemerintah Indonesia sesuai Undang-undang (UU) Migas tahun 2001.
Kontrak tersebut menyediakan mekanisme penyelesaian perselisihan secara perdata apabila ada pertanyaan seputar pelaksanaan proyek Migas yang menyangkut penggantian biaya (cost recovery).
Mekanisme ini telah ada sejak puluhan tahun dan telah mampu menyelesaikan berbagai perselisihan yang muncul dari kontrak antara pihak perusahaan dan Pemerintah Indonesia.
Industri hulu migas adalah sektor yang diatur sangat ketat dan setiap aktivitasnya didasarkan pada proses baku, tinjauan dan persetujuan SKK Migas serta lembaga negara terkait dan di audit secara teratur oleh auditor pemerintah.
Sesuai dengan amanat UU lingkungan, semua perusahaan Migas mengemban kewajiban untuk menjalankan operasi yang selamat, handal dan ramah lingkungan. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, program bioremediasi CPI merupakan pionir dan telah menciptakan standar bagi industri serta menjadi rujukan yang diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain di Indonesia.
"Oleh karena itu, penerapan proses hukum pidana atas program bioremediasi CPI dan menjadikan karyawan dan kontraktor CPI sebagai tersangka terkait program tersebut telah menjadi preseden yang tidak diharapkan serta menimbulkan ketidakpastian hukum," ungkapnya.
Khusus untuk program bioremediasi ini, Chevron telah menanggung seluruh biaya proyek dan tidak ada penggantian dari pemerintah sehingga tidak ada kerugian negara terkait proyek ini. Berlanjutnya kasus bioremediasi sebagai kasus pidana juga telah menimbulkan kecemasan dan ketakutan di antara para pekerja ,igas serta perusahaan yang mempekerjakan mereka.
"Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan industri untuk terus menghasilkan energi dan pendapatan bagi negara yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, IPA meminta pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi industri Migas karena akan membawa dampak yang luas bagi industri Migas serta berdampak negatif terhadap kebutuhan Indonesia untuk menarik investasi Migas.
IPA berpendapat bahwa kejelasan hukum, kepastian hukum, dan kesucian kontrak (contract sanctity) merupakan landasan keberhasilan industri migas di Indonesia. Oleh karena itu, IPA meminta dengan hormat untuk merujuk penyelesaian kasus ini kepada mekanisme penyelesaian perselisihan yang telah diatur dalam PSC yang menjadi landasan bagi operasi migas di Indonesia. (Pew/Ndw)