Sukses

Iri Dengan Batam, Pengusaha Kapal Minta Pemerintah Bebaskan Pajak

Pemerintah memberlakukan PPN nol persen untuk galangan kapal di Batam. Sedangkan di luar Batam, harus merasakan PPN 10 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Pelaku usaha menuntut pemerintah untuk membebaskan berbagai pungutan bagi industri galangan kapal di seluruh Indonesia, seperti bea masuk impor komponen kapal dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari saat ini yang sebesar 15 persen dan 10 persen. Selama ini pemberlakuan insentif hanya diberlakukan bagi perusahaan galangan kapal di Batam.

Direktur Utama PT PAL Indonesia, Firmansyah Arifin mengungkapkan, sangat menginginkan adanya insentif fiskal dan non fiskal untuk menggairahkan industri galangan kapal di Tanah Air.

"Pungutan itu harus maksimal dihilangkan. Tapi kan ini masih gagasan, dan harus didiskusikan lagi formulanya PPN dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP). Nanti bisa berkembang lagi detailnya," papar dia di kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (11/11/2014).

Firmansyah mencatat, ada 190 galangan kapal di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 110 galangan kapal berada di Batam dan sisanya di luar Batam. Perbedaan mencolok, kata dia, terjadi pada industri galangan kapal di Batam dan luar Batam.

Batam, tambahnya, memberlakukan Free Trade Zone (Area Perdagangan Bebas) yang menawarkan ragam insentif menarik bagi pelaku usaha galangan kapal dibanding mereka yang berada di luar Batam.

"Di Batam, industri kapalnya tumbuh sehat, bagus dan bergairah. Threatment (insentif) nya memang beda karena masuk FTZ dan wilayah tersebut dekat dengan Singapura. Sedangkan di luar Batam, industri galangan terbebani dengan ongkos mahal," ujarnya.

Sebagai contoh, lanjut Firmansyah, pemerintah memberlakukan PPN nol persen untuk galangan kapal di Batam. Sedangkan di luar Batam, harus merasakan PPN 10 persen.

"Harusnya kan di copy saja environment di Batam ke sini misalnya soal tanah, bea masuk, PPN. Karena beda PPN sudah 10 persen, belum-belum industri galangan kapal di luar Batam sudah kalah 10 persen, padahal itu keuntungan. Sedangkan di kawasan FTZ, free PPN," tegasnya.

Pelaku usaha, dijelaskan Firmansyah, jarang menyerap anggaran BMDTP karena waktu pelaksanaannya kurang tepat. Sehingga mengakibatkan penyelesaian proyek-proyek kapal molor.

"BMDTP tidak tepat timing-nya, misalnya mau bangun kapal di awal tahun, BMDTP-nya baru keluar di pertengahan atau akhir tahun. Jadi di sini tidak ada gunanya karena materialnya sudah kita beli. BMDTP hanya berlaku satu tahun, jika sudah ganti, lain lagi urusannya," terangnya.

Pelaku usaha menginginkan fasilitas BMDTP terus berlaku setiap saat sehingga tak perlu ada proyek pengerjaan, perbaikan dan pembuatan kapal yang tertunda serta merugikan pengusaha.

"Maunya kita setiap saat fasilitas itu ada terus, karena proyek kan tidak bisa diatur. Beli material kan lama dan kita di denda karena proyek telat. Jadi harus dipercepat semuanya, termasuk memberi perlindungan dengan tarif khusus bagi industri galangan," pungkas Firmansyah. (Fik/Gdn)

Video Terkini