Liputan6.com, Jakarta - Produksi gas bumi masih sesuai target Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P). Namun sayang produksi gas bumi positif itu belum dapat diikuti produksi minyak.
Berdasarkan data SKK Migas, prognosa lifting minyak bumi mencapai 798 ribu barel per hari (BOPD) atau sebesar 97,6 persen dari target 818 ribu BOPD yang tertuang di APBN-P.
Baca Juga
Ada sejumlah tantangan-tantangan di lapangan sehingga membuat produksi minyak belum sesuai target APBN-P. Pertama, ganggungan operasional produksi seperti gangguan fasilitas, gangguan sumur, kendala penyerapan minyak, dan lainnya.
Advertisement
Kedua, mundurnya on stream beberapa proyek termasuk pengembangan penuh Lapangan Banyu Urip dan Lapangan Bukit Tua. Ketiga, ketidakberhasilan pemboran beberapa sumur, termasuk penundaan pekerjaan pemboran akibat kendala ketersediaan rig dan kendala perizinan.
"Angka prognosa lifting minyak sebesar 798 ribu BOPD diharapkan dapat bertahan sampai akhir tahun dengan asumsi tidak ada kendala operasional, gangguan cuaca dan kesiapan penyerapan Pertamina selaku off taker minyak bagian negara," ujar Plt SKK Migas, Johanes W, seperti dikutip dari keterangan yang diterbitkan, Minggu (16/11/2014).
Di luar masalah kendala operasional tersebut, terdapat beberapa isu lain yang berpotensi menghambat kegiatan hulu migas dalam jangka panjang. Termasuk di dalamnya adalah implementasi aturan mengenai tata ruang.
Regulasi yang ada menyatakan semua kegiatan harus mengacu pada rencana tata ruang dan tata wilayah. Saat ini tidak semua daerah sudah memiliki rencana tata ruang dan tata wilayah ini.
Sedangkan beberapa daerah yang menyusun rencana tata ruang dan tata wilayah belakangan tidak mengakomodasi kegiatan usaha hulu migas yang sebenarnya sudah beraktivitas di wilayah tersebut untuk waktu yang cukup lama. Dalam beberapa kasus ditemukan tapak sumur atau pipa penyalur yang berada di kawasan budidaya pemukiman, komersial, dan pertanian.
Selain masalah tata ruang, industri hulu migas juga menghadapi kendala dari aturan perpajakan. Beberapa regulasi perpajakan yang sampai saat ini belum terselesaikan antara lain terkait pajak pertambahan nilai(PPN) impor, pajak bumi dan bangunan (PBB) offshore, dan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama antar KKKS.
Terkait dengan PPN impor, masalahnya adalah Kontraktor KKS eksploitasi tidak dapat menerima pembebasan PPN impor karena tata caranya belum diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/2013.
Saat ini terdapat PPN impor sebesar Rp 1 triliun yang sudah dibayarkan oleh Kontraktor KKS yang belum mendapatkan pengembalian. Permasalahan PPN impor berdampak langsung terhadap pengadaan barang yang dibutuhkan dalam operasi hulu migas, sehingga berpotensi menurunkan tingkat produksi migas.
Permasalahan juga terjadi pada pembebanan PBB Offshore. Kontraktor KKS wilayah offshore yang menandatangani kontrak setelah PP 79 tahun 2010 mengajukan keberatan terhadap SPPT PBB Permukaan Offshore dan SPPT PBB Tubuh Bumi periode tahun 2012 dan 2013 dengan nilai Rp 3,1 triliun.
Dirjen Pajak sudah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-45/PJ/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi untuk menggantikan Per-11/PJ/2012.
Peraturan tersebut tidak berlaku retroaktif, sehingga permasalahan PBBÂ Migas sebesar Rp 3,1 trilyun masih belum selesai. Kepastian hukum atas permasalahan ini berdampak terhadap keputusan investasi dari para Kontraktor KKS. Sementara menunggu, Kontraktor KKS yang masih dalam tahap Eksplorasi, memilih untuk tidak melakukan kegiatan eksplorasi sampai dengan proses tersebut selesai.
Masalah lain perpajakan juga terjadi pada penggunaan fasilitas bersama antar Kontraktor KKS. Mekanisme pengggunaan fasilitas bersama lebih efisien karena biaya operasi ditanggung bersama dibandingkan jika masing-masing Kontraktor KKS membangun fasilitasnya masing-masing.
Namun, penggunaan fasilitas bersama ini ternyata kemudian dianggap sebagai objek pajak sehingga dikenakan PPN yang menimbulkan beban tambahan bagi kegiatan hulu migas.
"Kami berharap isu seputar perpajakan ini dapat segera diselesaikan, mengingat ini tidak hanya mempengaruhi ketersediaan migas dan penerimaan negara dari migas dalam jangka pendek, tetapi juga keberlangsungannya untuk jangka panjang," ujar Widjonarko.
SKK Migas dan Kontraktor KKS juga berharap pemerintah dan DPR RI dapat segera menyelesaikan revisi undang-undang migas, sehingga sektor strategis ini bisa dijalankan dengan kepastian hukum yang tinggi. (Pew/Ahm)