Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 7,75 persen dianggap sebagai hal wajar untuk mengendalikan inflasi akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah mengungkapkan, penyesuaian BI Rate seperti sinyal yang mampu memberikan kepercayaan diri terhadap pasar bahwa regulator bereaksi terhadap risiko inflasi, defisit transaksi berjalan dan fiskal yang ditangani pemerintah.
"Dari kenaikan harga BBM subsidi, kita punya penghematan uang yang diyakini bisa meningkatkan kepercayaan diri pasar dengan respons dari BI, pemerintah," ujarnya di acara Rakernas REI, Jakarta, Rabu (19/11/2014).
Halim pun menegaskan, tak ada kekhawatiran potensi peningkatan pembiayaan dari kenaikan BI Rate tersebut karena hanya menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin. Kecuali BI Rate yang terbang di tahun 1997-1998.
"Coba lihat respon BI ketika pemerintah menaikkan harga BBM sampai 100 persen lebih pada 2005, BI hanya menaikkan suku bunga acuan hanya beberapa persen. Ini sudah menentramkan pasar," terang dia.
Selanjutnya, Halim bilang, periode berikutnya pemerintah kembali menaikkan harga BBM dengan kenaikan BI Rate 25 basis poin saja. Sehingga pasar sudah bisa melakukan hitung-hitungan dengan baik dan menjaga pengendalian inflasi. "Kalau inflasi bisa lebih cepat dikendalikan, suku bunga tidak perlu naik," tegasnya.
Tahun depan, dia bilang, pertumbuhan kredit bisa lebih terpacu sebesar 15 persen hingga 17 persen. Sementara saat ini menurun karena di beberapa daerah misalnya di Sumatera menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi menjadi 4,5 persen di kuartal III.
"Sedangkan di Jawa Tengah, pertumbuhan ekonominya 5,6 persen, Jawa Timur dan Jawa Barat sekira 5,6 persen-5,9 persen. Ini cukup tinggi, karena kawasan Timur pada kuartal I 2014 masih rendah, dan sekarang di kuartal III ini mencapai 5 persen," tutur dia.
Sambung Halim, ada beberapa daerah terkena pengaruh pelemahan harga komoditas batubara sebesar di bawah 4 persen. Namun di Indonesia lebih diharapkan pertumbuhan daya saing terutama Pulau Jawa karena industri manufaktur lompat, namun ada pula daerah yang menyumbang pelemahan inflasi.
"Kebijakan moneter sifatnya sangat dinamis. Kalau kondisi (BI Rate) memungkinkan untuk diubah, akan kita ubah tapi harus lihat situasi ke depannya," tukas Halim. (Fik/Gdn)
BI Rate Naik, Pasar Lebih Percaya Diri
Tak ada kekhawatiran potensi peningkatan pembiayaan dari kenaikan BI Rate tersebut karena hanya menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin.
Advertisement