Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan aturan pembatasan jumlah undangan penyelenggaraan resepsi pernikahan pejabat negara. Kebijakan ini langsung ditentang Pengamat Politik dan Birokrasi, Miftah Thoha.
Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menilai, seharusnya pemerintah lebih memikirkan hal-hal yang lebih penting ketimbang mengurusi acara pesta pejabat negara.
"Pejabat bikin pesta pernikahan kan bukan menggunakan anggaran negara. Memang betul supaya nggak bermewah-mewahan, tapi kan itu urusan pribadi mereka. Harusnya tidak usah sampai mengurusi yang tidak perlu diurusin," keluh Miftah saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis (20/11/2014).
Dia berpendapat, urusan pesta pernikahan semisal penentuan jumlah undangan merupakan hak setiap manusia termasuk pejabat negara. Jika ini terlampau dibatasi, maka seperti merenggut kebebasan pribadi si pejabat.
"Itu urusan pribadi mereka. Kalau dibatasi, kok terkesan membatasi kebebasan pribadi. Padahal belum tentu korupsi, karena jika ditengarai ada korupsi maka perlu melibatkan KPK dan PPATK," tuturnya.
Bila di era kepemimpinan Soeharto, tamu undangan pejabat dibatasi sampai 250 orang, maka dianggap sama seperti menggelar pernikahan di warung kopi. Dia menganjurkan pemerintah justru mengeluarkan aturan penghematan dalam menggunakan belanja pemerintah non infrastruktur seperti perjalanan dinas dan rapat di hotel. Â
"Kalau resepsi diadakan di hotel dengan undangan 250 orang (suami istri) jadi 500 orang, itu sepi sekali. Sama saja nikahan di warung kopi atau warung pecel. Jadi sudahlah, anjurkan saja penghematan belanja pemerintah bukan eksplisit membatasi tamu pesta," pungkas Miftah. (Fik/Ndw)
Batasi Tamu Undangan Pesta Langgar Privasi Pejabat
Pemerintah telah mengeluarkan aturan pembatasan jumlah undangan penyelenggaraan resepsi pernikahan pejabat negara.
Advertisement