Sukses

Waspada! Pulau Derawan Terancam Dicuri Malaysia dan Filipina

Menko Maritim Indroyono Soesilo menerima laporan mengenai banyaknya imigran gelap asal Malaysia dan Filipina yang menetap di Pulau Derawan.

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan manusia kapal ilegal yang memasuki perairan Indonesia rupanya akan berdampak besar pada kedaulatan wilayah Indonesia. Pasalnya saat ini semakin banyak manusia kapal yang nempati perairan dan menepi di daratan nusantara.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo mengatakan, dirinya telah menerima laporan mengenai banyaknya imigran gelap yang biasa disebut manusia nelayan ini menetap di Tanjung Batu, Derawan, Kalimantan Timur.

"Manusia kapal ini adalah suku bajo yang berasal dari Filipina dan Malaysia. Kalau lama-lama dibiarkan Pulau Derawan bisa jadi pulaunya orang lain," ujarnya saat konferensi pers di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta Pusat, Jumat (21/11/2014).

Dia menjelaskan, hal ini pernah terjadi ketika Pulau Sipadan-Ligitan di klaim oleh Malaysia. Penduduk wilayah tersebut menyatakan bahwa selama ini dipelihara oleh Malaysia.

"Di Sipadan-Ligitan, saat ditanya siapa yang pelihara anak-anak mereka, mereka jawab Malaysia, bisa diputuskan jadi punya Malaysia. Kalau kita tidak bisa berhati-hati dengan suku Bajo, ini juga bisa terjadi. Padahal mereka juga tida bisa berbahasa Indonesia," lanjutnya.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, biasanya selama ini para manusia kapal yang ketahuan menetap di wilayah Indonesia selalu dipulangkan.

Selain menetap, pada manusia kapal ini juga memiliki kebiasaan menangkap ikan yang merusak ekosistem di laut. Dengan kapal yang umumnya lebih besar dibandingkan dengan nelayan Indonesia, manusia kapal ini biasa menggunakan portas untuk menangkap ikan.

"Mereka tidak bisa dibilang nelayan kecil. Nelayan kecil kita bahkan kapalnya lebih kecil, cuma 5 gross ton (GT). Sedang kapal mereka diatas 10 GT-15 GT. Mereka pakai portas, itu Kerusakan permanen pada terumbu batu, bisa merusak seluas areal 6 meter persegi," jelasnya.

Hasil tangkapan ikan yang mereka dapatkan pun disalurkan kepada pengepul kapal besar dengan modus operandi kapal besar yang umumnya berbendera Hongkong tersebut menunggu di wilayah perbatasan. Hal itu membuat ekspor ikan Indonesia menjadi tidak terdata.

"Orang kampung kita juga mau makan ikan kakap merah tidak bisa karena sudah dibomin, mereka makan cuma tongkol. Dan kalau dibandingkan dengan nelayan Indonesia mereka lebih handal. Kalau alat tangkapnya sama misalnya, nelayan kita sudah kalah, karena mereka sudah biasa dilaut. Ini harus Diatasi dengan lintas kementerian. Sebab kalau mau pulangkan juga biayanya besar," tandasnya. (Dny/Ndw)