Liputan6.com, Jakarta- Lima juta buruh akan melakukan aksi besar-besaran dan mogok nasional menuntut revisi UMP/UMK di beberapa daerah dan tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Aksi itu akan digelar pada 10-11 Desember mendatang.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Dewan Pengupahan Sarman Simanjorang menilai jika buruh protes dan melakukan aksi unjuk rasa maka menunjukan kualitas buruh yang rendah. Terlebih, apabila buruh mengancam untuk stop produksi di pabrik-pabrik.
"Kalau buruh mogok itu menunjukan kualitas buruh kita sangat rendah. Pabrik itu tempat mereka mencari nafkah. Ladang mereka mencari nafkah. Jika mereka mogok pabrik berhenti, pengusaha rugi, pendapatan perusahaan turun. Di sisi lain mereka minta upah minimum provinsi (UMP) ini sangat bertolak belakang," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (28/11/2014).
Menurutnya, lebih baik buruh meningkatkan produktivitas dan kompetensinya sehingga pendapatan yang diperoleh perusahaan terus meningkat. Dengan begitu, ujarnya kesejahteraan buruh otomatis juga akan terangkat.
Dia pun menambahkan, cara protes dengan menggelar aksi pun tak melewati prosedur yang baik. Seharusnya buruh bisa memanfaatkan Forum Bipartit untuk menyampaikan ketidakpuasannya.
"Jika ini terus menerus terjadi, kita sangat khawatir akan banyak perusahaan yang relokasi bahkan menutup pabriknya menjadi pedagang dan distributor. Tinggal pesan ke China dan menjualnya ke Indonesia," ujar Sarman. (Amd/Ndw)