Liputan6.com, Jakarta - Pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga Anggota Komite Reformasi Tata Kelola Migas Fahmy Radhi berpendapat, kasus korupsi alokasi gas di Bangkalan, Madura jadi bukti bahwa mafia migas ada di mana-mana.
Kasus ini dikatakan juga memberi bukti nyata dan terang benderang ada kongkalikong antara mafia migas dengan pejabat daerah.
"Ini modus tata kelola migas dalam penyaluran gas tadi, dari PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE-WMO) ke BUMD. Tapi BUMD ini hanya boneka karena ada perusahaan swasta PT Media Karya Sentosa (MKS) yang mengendalikan. Sudah mafhum, BUMD di daerah yang ditunjuk tidak punya kemampuan, kemudian mengajak swasta, yang akhirnya dikendalikan para trader gas, ini titik lemah tata kelola migas," jelas Fahmy di Jakarta, Kamis (5/12/2014).
Advertisement
Seperti diketahui, Ketua DPRD Bangkalan, Jawa Timur, Fuad Amin Imron ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap jual beli pasokan gas alam untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Bangkalan dan Gresik, Jawa Timur.
Kata dia, para trader gas berkuasa juga akibat UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang terlalu liberal. Para trader yang tidak punya infrastruktur kemudian bebas masuk mengikuti tender hanya berbekal melakukan penawaran harga lebih tinggi.
Selisih harga sekian sen kemudian mengalahkan perusahaaan yang memiliki infastruktur dan punya pengalaman seperti PT Perusahaan Gas Negara (PGN).
"Akibat liberasilisasi tadi maka penyaluran dari hulu juga bermasalah. Pertama di tender juga titik lemah, trader para pemburu rente tidak memiliki infrastruktur karena kedekatan dengan pengambil keputusan, kemudian menang. Gas itu kemudian dijual lagi misal ke PGN lebih mahal, pada akhirnya konsumen yang rugi," tegasnya.
Secara pribadi, ia menyarankan memang perlu ada kualifikasi khusus atau kriteria khusus ketika trader mengikuti tender misal keseriusan membangun infrastruktur dan juga kemampuan finansial secara transparan.
"Jangan sekadar berani menawar harga tinggi kemudian dimenangkan, sementara PGN yang punya insfrastuktur justru kalah. Unsur kelayakan tadi harus dipertimbangkan," tegas dia.
Tentu saja, ia mengingatkan, akibat permainan alokasi gas sangat berbahaya. Satu daerah bisa sangat kurang pasokan sementara daerah lain berlebihan. Padahal, berbeda dengan minyak yang bisa diangkut dengan kendaraan, gas memerlukan infrastruktur lebih.
Dengan berbagai masalah di sektor migas, dia berharap, dua perusahaan yaitu Pertamina dan PGN bisa bersinergi berbagi peran dan tidak saling sikut.
Persaingan dua korporat itu disebut Fahmy memang karena UU Migas yang terlalu liberal tadi. Tim Reformasi Mafia sendiri akan mengkaji lagi UU Migas itu untuk kemudian memberi rekomendasi.
"Secara pribadi saya usul, agar ada pembagian di minyak ke Pertamina. Kompetensi lama di gas berikan gas tadi PGN dari hulu ke hilir. Sehingga Pertamina bisa bermain di pasar dunia, sementara ketika PGN memiliki kewenangan di hulu dari sisi pasokan akan lebih terjamin, tidak bergantung ke Pertamina, Chevron dan lainnya. Ada ketersambungan pasokan. Ini juga akan kami usulkan, kami dari akademisi menyampaikan bukan berdasar isu, tapi data fakta yang sangat akademik," tegasnya. (Pew/Nrm)