Sukses

Ekspor Tembakau Bakal Tumbuh 10% pada 2015

Ekspor dan produk tembakau olahan Indonesia diperkirakan tumbuh 10 persen menjadi US$ 1,1 miliar pada 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyatakan, ekspor dan produk tembakau olahan Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 10 persen menjadi US$ 1,1 miliar pada 2015 dari target ekspor tahun ini sebesar US$ 1 miliar. Target itu didukung dari kenaikan permintaan produk keretek, baik dari jenis sigaret keretek tangan (SKT) maupun sigaret keretek mesin (SKM).

"Rokok keretek tetap menjadi primadona di pasar ekspor karena Indonesia merupakan negara produsen keretek terbesar di dunia," ujar Wakil Ketua Umum AMTI, Budidoyo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/12/2014).

Nilai ekspor produk tembakau Indonesia setiap tahun, menurut Budidoyo, secara konsisten terus meningkat, termasuk dari segi permintaan di beberapa negara kawasan seperti Asean. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (EPS) yang diolah Kementerian Perdagangan, ekspor tembakau dan produk tembakau sejak 2011 hingga 2013 rata-rata tumbuh sekitar 12 persen.

"Terdapat sejumlah tantangan yang berpotensi melemahkan daya saing industri hasil tembakau nasional, dari kebijakan dalam negeri yang terkadang tidak berimbang antara kepentingan kesehatan, kepentingan penerimaan negara, dan penyerapan tenaga kerja, hingga desakan aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia," paparnya.

Untuk mengurangi tekanan industri produk tembakau dalam negeri, lanjut Budidoyo, pihaknya berharap petani berkornitmen untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan efektivitas pertanian tembakau agar dapat bersaing di pasar internasional.

"Kami meminta komitmen pabrikan rokok untuk menjaga kelangsungan rokok kretek dan berinovasi pada produk rokok keretek guna memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional," kata Budidoyo.

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto menolak ratifikasi framework convention tobacco control yang dikhawatirkan akan menurunkan kinerja industri rokok nasional.

"Dalam salah satu ayat yang ada pada FCTC menyuarakan pelarangan produk rokok yang mengandung rasa (cengkeh) sehingga ciri khas industri rokok nasional yang menggunakan cengkeh akan tergusur. Jika kita meratifikasi FCTC walaupun industrinya tidak mati tetapi kekhasan rokok kita akan hilang," ujar Panggah.

Panggah menyatakan, pemerintah tidak bisa sembarangan dalam menerbitkan regulasi. Hal ini agar eksistensi sigaret rokok kretek (SKT) tidak mati.

"Sejauh ini, kami masih memilih menolak konvensi pengendalian rokok ini, dan kalangan pebisnis rokok punya semangat yang sama," kata Panggah.

Saat ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Lewat beleid berisi 65 pasal yang mengatur masalah produksi hingga pencatuman peringatan kesehatan ini, sebaiknya dijalankan terlebih dahulu dan Indonesia dianggap tidak perlu untuk bergabung dengan negara-negara yang meratifikasi FCTC.

Total pekerja yang tersangkut dalam industri ini, menurut Budidoyo, menembus angka enam juta jiwa sehingga dengan ditambahnya beleid pengatur industri tembakau maka dipastikan akan ada polemik. (Dny/Ahm)