Liputan6.com, New York - Harga minyak dunia tercatat terus merosot sejak Juni 2014 hingga sempat menyentuh level terendah dalam enam tahun terakhir di harga US$ 44 per barel. Perdebatan di antara para analis turut mewarnai kemerosotan harga minyak yang saat ini terjadi.
Persoalan utama yang menjadi bahan perdebatan saat ini adalah, apakah penurunan harga minyak dunia bailk atau buruk bagi perekonomian global.
Baca Juga
Mengutip laman USA Today, Sabtu (17/1/2015), harga minyak mentah dunia memang telah mengalami kemerosotan parah sejak pertengahan tahun lalu. Akibat penurunan tersebut, para pakar strategi bahkan mengoreksi proyeksinya dan mengatakan harga minyak akan merosot lebih parah tahun ini.
Advertisement
Tentu saja sejumlah perusahaan energi akan menjadi pihak yang mendapat hantaman terbesar dari kemerosotan harga minya. Sejumlah analis mengatakan sektor energi di bursa saham AS akan mengalami penurunan lama sekitar 23 persen akhir tahun ini.
Para analis di S&P Capital IQ mengatakan, meski sektor energi terkena hantaman cukup kuat, tapi seluruh perusahaan di bursa saham AS tetal dapat memperoleh kenaikkan laba 4 persen di akhir tahun.
Melihat pada segi perekonomian lebih luas, para analis di perusahaan penyedia informasi keuangan global tersebut menyebutkan, penurunan harga minyak akan berdampak positif. Harga minyak yang lebih murah akan membuat pengeluaran masyarakat berkurang.
Ekonomi global yang saat ini tampak tengah tumbuh melambat juga dapat bergerak naik akibat rendahnya harga minyak. Para analis di perusahaan yang berbasis di New York itu juga mengatakan, The Fed juga harus berpikir ulang ratusan kali untuk menaikkan suku bunganya dalam waktu dekat.
Namun raja obligasi Jeffrey Gundlach di DoubleLine Capital mengatakan, jatuhnya harga emas dalam sepekan terakhir memberikan sinyal munculnya dampak negatif dan banyak akibat tak terduga. Gundlach juga mengkhawatirkan perekonomian AS karena banyaknya pemutusan hubungan kerja di sejumlah perusahaan energi.(Sis/Nrm)