Liputan6.com, Jakarta - Dua tahun lalu, nilai tukar rupiah terkena hantaman sangat keras dari sinyal penghentian aliran dana stimulus Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), hingga rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terparah di Asia kala itu.
Kali ini, isu The Fed akan menaikkan suku bunganya kembali merebak dan memicu berbagai spekulasi di pasar keuangan berbagai negara, termasuk Indonesia.
Baca Juga
Melihat kemungkinan dampak kenaikkan suku bunga AS tahun ini, Chief Economist ANZ for Asia Pacific Glenn Maguire mengatakan, negara-negara berkembang harus bergerak mempersiapkan diri dengan berbagai kebijakan ekonomis di dalam negeri.
Advertisement
"Kita sudah lihat gejala dari dampaknya, sudah dua tahu terakhir mata uang Asia melemah karena dolar yang terus menguat. Bagi negara-negara yang masih mengalami defisit anggaran dan defisit transaksi, mereka perlu menanam modal lebih banyak di pasar internasional," terangnya saat berbincang dengan Liputan6.com seperti ditulis Jumat (30/1/2015).
Menurutnya, saat ini yang pasti adalah dolar akan terus menguat disusul dengan berbagai kebijakan dari luar AS. Tengok saja, Bank Sentral Eropa yang berencana menggulirkan dana stimulus hingga tahun depan, dan Bank Sentral Jepang yang juga akan melanjutkan kebijakan stimulusnya.
Maguire menuturkan, 2015 akan menjadi tahun yang sangat luar biasa bagi dolar AS. Saat dolar semakin perkasa, tentu saja mata uang di Asia melemah dan menyebabkan harga aset finansialnya semakin murah.
"Namun pada saat yang sama negara-negara seperti Indonesia, India dan Malaysia memperoleh pendapatan yang lebih tinggi karena turunnya harga minyak dunia," kata Maguire.
Sejauh ini, untuk urusan pengambilan kebijakan, dia melihat Gubernur The Fed Janet Yellen sangat berbeda dengan pimpinan sebelumnya Ben Bernanke. Menurutnya, Yellen menjalin komunikasi yang sangat baik dengan para pelaku pasar sehingga apapun keputusan The Fed tampak lebih transparan.
"Yellen terkesan penuh kejutan, berbeda dengan Bernanke yang bergerak tanpa kejutan. Dia mampu menahan cukup lama demi menstabilkan inflasi dan menunggu angka pengangguran berkurang untuk memastikan ekonomi AS pulih dengan baik," pungkasnya. (Sis/Ndw)