Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas Pasar Senen, Jakarta Pusat, sudah kembali bergairah, setelah sebelumnya sempat meredup karena kebakaran hebat pada September 2014 lalu. Pada pedagang sudah menggelar dagangan di kios-kios di dalam pasar setelah sebelumnya sempat mengumbar dagangan di pinggir jalan.
Melihat sejarahnya, Pasar Senen identik dengan pasar yang menjual berbagai macam kain maupun pakaian jadi. Namun mlambat laun, Pasar Senen juga identik sebagai sentra penjualan baju bekas.
Baju bekas tengah menjadi perhatian serius pemerintah akhir-akhir ini. Komoditas tersebut disinyalir dihinggapi banyak bakteri yang pembawa penyakit. Bahkan, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengklaim baju bekas merusak moral bangsa sehingga harus distop peredarannya.
Menanggapi hal tersebut, tentu saja pedagang baju bekas Pasar Senen tak menerimanya begitu saja. Bekti Inzagi (27) seorang pedagang baju bekas mengaku, persepsi pemerintah tak sepenuhnya benar. Pedagang yang telah berjualan selama 7 tahun ini mengaku tak pernah terkena penyakit setelah memakai baju tersebut.
"Penyakit kan tidak di baju, saya sudah berapa tahun, pakaian sudah lama saya pakai, ini kan sisa ekspor. Kalo belanja ada label ekspor," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Rabu (4/2/2015).
Selain itu, dia juga mengklaim baju-baju yang dijualnya bukan baju bekas. Alasannya, baju-baju tersebut merupakan baju baru dari luar negeri yang tidak terjual sehingga dikirimkan ke nagara lain termasuk Indonesia. Itu terlihat dari label impor yang ada dalam pakaian tersebut.
Namun memang, saat pengiriman baju tersebut dicampur baju bekas sehingga terlihat usang. "Tapi kan itu sudah dipilihin, mana yang bagus, mana yang tidak," ujarnya.
Apalagi, pihaknya menuturkan tak pernah menerima keluhan dari pelanggan. Hal itu lantaran ketika pembeli memborong produknya telah diimbau untuk mencucinya dengan air hangat. "Orang juga tahu, nyuci pake air anget berapa menit. Itu dianjurin," tegasnya.
Dia pun mengatakan, mungkin saja produk yang dikategorikan barang bekas adalah baju yang dijual dengan harga obral. Dia mengaku, produk tersebut memang tidak sehat karena telah silih berganti dipakai orang.
Keuntungan tak seberapa
Bekti memulai usaha sejak 7 tahun yang lalu. Pria asal Banten tersebut mulanya hanya ikut-ikut berjualan dengan abangnya. Menyadari hanya seorang lulusan SMA akhirnya, dia pun turut merintis penjualan baju impor tersebut.
Dia menerangkan, untuk mendatangkan baju-baju tersebut paling tidak menghabiskan biaya Rp 3 juta per ball atau setara dengan 250 baju. Baju tersebut tidak semuanya lantas dijual. Dia harus memilih satu persatu mana saja yang dianggap layak jual.
"Untungnya ada lebihnya, sepi kadang rame, kalau untung yang kami makan, paling 1 ball Rp 200 ribu per hari, tidak banyak," ujarnya.
Dia menerangkan, paling tidak memasok 1 ball baju selama seminggu sekali. Ditanya dari mana barang yang dia jual, Bekti sendiri tak mengetahuinya secara detil.
Ia mengaku, mendapatkannya dari pemasok yang berasal dari lingkungan Pasar Senen sendiri. "Ya ngambil ball di sini, kalau belanja di sini," paparnya.
Keputusan pemerintah untuk mengerem peredaran baju impor pun menuai protes. Selain dianggap tidak benar jika yang dijual merupakan produk baju bekas. Baju impor telah menjadi sumber penghidupan ratusan pedagang Pasar Senen.
"Kalau saran, sebenarnya apa yang bikin melarang, nggak ada baju nggak ada penyakit. Ini penghidupan orang banyak," tukasnya.
(AMd/Gdn)
Pedagang Pasar Senin: Ini Bukan Baju Bekas Tapi Sisa ekspor
Untuk mendatangkan baju-baju tersebut paling tidak menghabiskan biaya Rp 3 juta per ball atau setara dengan 250 baju.
Advertisement