Sukses

Disperindagkop Yogyakarta Larang Penjualan Baju Bekas Impor

Larangan harus didukung oleh pemerintah kabupaten dan kota. Pasalnya izin usaha penjualan baju bekas impor ada di daerah.

Liputan6.com, Yogyakarta - Temuan bakteri berbahaya pada pakaian bekas impor oleh Kementerian perdagangan direspon cepat oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan mengeluarkan larangan penjualan baju bekas impor.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi dan UKM (Disperindagkop) DIY, Riyadi Ida Bagus mengatakan, setelah mengeluarkan larangan, pihaknya langsung terjun ke lapangan untuk merazia kepada toko pakaian yang menjual baju bekas impor.

"Harus ditarik dan tidak dijual lagi. Kami pagi tadi ke lapangan. Sudah diinformasi ke teman-teman hari ini kami sudah kumpul. Aksinya harus segera. Pelarangan tidak ada batas waktu," ujar Riyadi Kamis (5/2/2015).

Riyadi melanjutkan, larangan ini harus didukung oleh pemerintah kabupaten dan kota. Pasalnya izin usaha penjualan baju bekas impor ada di daerah. Oleh karenanya, ia sudah meminta kepada Disperindagkop Kabupaten dan Kota segera menindaklanjuti larangan dari pemerintah ini.

"Iya jelas melarang. Makanya saya minta di kabupaten kota karena izinnya itu dari kabuapaten kota. Harus terus dipantau dan melakukan pendekatan persuasif. Kalo tidak bisa harus dengan peringatan tertulis. Karena itu akan mematikan industri tekstil yang ada di DIY," ujarnya.

Riyadi menegaskan, jika ekspor tekstil di DIY terus meningkat. Namun jika konsumen tertarik dengan baju bekas impor maka akan mematikan industri lokal. Oleh karena itu ia mengimbau untuk tidak membeli lagi baju bekas.

"Sudah dilakukan uji lab oleh direktorat jendral standarisasi perlindungan konsumen jelas mengandung bakteri yang tidak kita inginkan. Yang tidak diinginkan adalah pakaian bekas dicuci lalu dijual lagi diakui pakaian baru. Paling tidak kita jangan beli," ujarnya.

Menurut Riyadi masuknya pakaian bekas impor di DIY melalui jalur darat dan tidak dari pelabuhan. Jalur darat itu melalui Sumatera kemudian ke Jakarta baru sampai ke Jogja. (Fathi mahmud/Gdn)